Thursday, July 4, 2013
Oleh Theresia Fransiska Tekege )*
Saat ini,
dengan semakin terbukanya Papua menerima
arus transmigrasi, imigran gelap dari luar Papua yang tidak terkendali, ada
fenomena yang patut kita cermati. Fenomena itu menyangkut anak-anak jalanan
asli Papua: berambut keriting, berkulit hitam.
Banyak anak
jalanan di beberapa Kabupaten/kota di Papua, yang tidak terurus kehidupannya.
Mereka berpindah-pindah bahkan hingga keluar kota untuk memperoleh nafkah, demi
hidup. Banyak kerja mereka: mengais sampah, mengambil dan memungut barang bekas
yang dapat dijual kembali, seprti kaleng, botol, dll. Bila kita bicara soal
keadaan mereka, jelas memprihatinkan. Baju mereka tidak layak pakai. Tempat
tidur mereka di jalanan, emperan toko. Karton jadi kasur mereka. Karung jadi
tas mereka. Hanya satu d yang ada di pikiran mereka: makan untuk terus hidup.
Hidup
sebagai anak jalanan, bila diteliti, sebenarnya tidak diingini siapapun,
termasuk oleh para anak jalanan ini. Mereka terpaksa menjadi anak-anak jalanan
karena berbagai faktor.
Misalnya
saja, anak menjadi korban kekerasan orang tuanya atau keluarganya mengalami
kekurangan ekonomi, sehingga menjadikan anak ingin mencari nafkah sendiri dan
bebas dari orang tuanya. Jadilah anak itu menjadi anak jalanan. Tidak ada yang melindungi kehidupan
anak jalanan, sehingga anak jalanan biasanya dijadikan sebagai sasaran dan
korban kekerasan oleh orang yang tidak berperasaan dan tidak bertanggungjawab.
Kekerasan
tidak hanya berasal dari orang dewasa, namun juga bisa terjadi kekerasan antar
anak jalanan. Berbagai kekerasan yang dilakukan sangat beragam mulai dari
mereka dimintai uang, dipukuli, diperkosa bahkan dijebloskan di penjara.
Sungguh miris kehidupan anak jalanan di pelosok Papua.
Banyak suka
dan duka yang dialami oleh anak jalanan. Sukanya, sebagai anak jalanan dapat mencari uang sendiri,
misalnya dengan bekerja menjadi pengamen dan pekerjaan tersebut kehidupan
ekonomi mereka tercukupi. Selain itu dapat menambah teman sesama anak jalanan.
Dukanya, saat ada razia polisi
terhadap anak- anak jalanan. Mereka tidak mengetahui kapan razia tersebut akan
ada. Ketika polisi datang untuk menangkap anak jalanan, mereka berlari dan
bersembunyi. Namun, diantara mereka ada yang tertangkap oleh polisi kemudian dibawa ke kantor polisi. Di kantor
polisi anak jalanan yang tertangkap dipukuli oleh polisi.
Mestinya, Bentuk perhatian dari kita
kepada mereka adalah dengan cara membina mereka agar memahami norma dan nilai, dibekali dengan ketrampilan,
misalnya adalah ketrampilan untuk berwiraswasta agar dapat bekerja dengan
masyarakat sekitar. Sehingga mereka tidak perlu lagi mencari uang di jalanan.
Dan bila turun jalan, ya dengan cara halal.
Bila ingin jujur, ada beberapa pihak
yang menanggung dosa dari derita anak-anak jalanan ini. Merekalah penyebab dari
munculnya kelompok jalanan ini. Dan beberapa pihak berikut adalah yang
mengganggu keseimbangan pikiran, perasaan, dan pemberian hukuman yang
berlebihan membuat keseimbangan pikir, rasa, cipta mereka terganggu, dan
mencari kebebasan dengan menjadi anak jalanan.
Pertama, keluarga. Karena keluarga
disharmonis, atau kurang memberi perhatian cukup kepada mereka. Bisa jadi hal
ini membuat mereka menjadi liar di jalanan. Bahkan, bisa juga mereka (anak
jalanan) dipaksa bekerja dijalanan untuk membantu perekonomian keluarga
sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bermain.
Kedua, Kekerasan fisik dari orang tua,
sesama anak jalanan, aparat pemerintah, dll. Ketiga, Kekerasan psikologis oleh orang tua, sesama anak jalanan,
masyarakat atau aparat pemerintah.
Keempat, Tidak ada jaminan atas pemenuhan
dan perlindungan hak-hak dasar anak, terutama pada aspek kesehatan, pendidikan
dan kelangsungan hidup.
Kelima, Anak jalanan selalu diibaratkan
dengan premanisme, anak nakal, bahkan dijadikan alat untuk melakukan kejahatan.
Sehingga, polisi, keamanan, hukum, selalu dihadapkan kepada anak jalanan ini.
Di sisi lain, akses anak-anak
jalanan terhadap jaminan kesehatan, perlindungan terhadap kekerasan,
pendidikan, kelangsungan hidup yang lebih baik, belum mendapat perhatian yang
benar-benar oleh berbagai pihak.
Motivasi dari pihak-pihak tertentu
sangat mereka butuhkan juga agar
menumbuhkan rasa ingin maju dalam menjalani kehidupan.
Saya melihat, justru Kasih sayang,
pengerimaan kelompok anak ajalanan ini, dan keterbukaan kita, penghargaan kita
kepada mereka sebagaimanusia, juga kepedulian kitalah yang mereka butuhkan.
Kan ini zaman Otsus. Mengapa uang
triliunan itu tidak bisa menyentuh mereka, dengan menyediakan asrama buat
mereka, dimana mereka dibina mental dan moral, sehingga menjadi manusia Papua
yang berkualitas?
Jangan remehkan masalah ini. Anak
jalanan di Papua, hampir semua anak asli Papua, generasi muda Papua. Baigmana
nasib Papua ke depan bila generasi mudanya demikian? Harus ada perubahan. Pemda
mesti buka mata. Ini tidak benar. Fenomena ini tidak bisa dibiarkan berlarut.
Penulis
adalah Mahasiswi Papua, kuliah di Universitas Sains dan Teknologi Jayapura
(USTJ), Jayapura, Papua.