Taman Bunga Bangsa Papua
Jadilah,
kuburan itu dikitari oleh sebuah keadaan yang tidak tertata dan terkesan kasar.
Tapi, mungkin memang begitulah keadaan pada mulanya. Atau keadaan yang
mendekati aslinya yang memang sengaja dipertahankan.
Tempat itu
dinamai Taman Bunga Bangsa Papua. Hanya saja, jangan harap di situ akan
mendapati bunga dalam pengertian sebenarnya. Dalam tafsir saya, bunga itu
adalah tiga makam orang muda Papua yang meninggal ditembak oleh aparat negara
Republik Indonesia dalam tragedi Nabire berdarah pada Februari-Maret 2000.
Selepas 13
tahun, boleh jadi keadaan di taman itu belum banyak diubah. Tiang besi tempat
Bintang Kejora berkibar masih tinggal bengkok di tengah taman. Kuburan itu pun
masih begitu saja. Tidak disemen. Salib kayu masih tetap juga, hanya menjadi
lapuk.
Artinya,
dalam rentang waktu 13 tahun sejak peristiwa Nabire berdarah terjadi, masih ada
tanda fisik yang relatif tetap. Ada yang masih hadir sejak 13 tahun lalu. Bukan
dalam rupa bayang-bayang, tetapi secara nyata. Tentu saja, tanpa bisa disangkal
sedikitpun, kenyataan ini sangat memudahkan orang-orang Papua, yang memiliki
kepentingan dengan peristiwa sejarah 13 tahun lalu, untuk menjaga memori
mereka.
Memang,
peristiwa sejarah dimaksud, yang terjadi di atas tanah itu, sudah lesap. Namun,
bekas-bekas peristiwa itu masih ada. Kita masih bisa menyaksikan tiang yang
bengkok itu. Juga kuburan yang sama. Jejak-jejak historis itu menjadi simpul
yang menautkan orang-orang Papua dengan masa lalu.
Mungkin
orang yang pada saat peristiwa itu terjadi ada di situ masih bisa mengenali
sisa-sisa yang lain. Tapi, yang juga tidak kurang penting adalah orang-orang
yang 13 tahun terlibat dan kini masih bisa bercerita secara utuh. Mereka masih
bisa dijumpai. Narasi dari orang-orang itu masih hidup dan relatif utuh karena
langsung dari tangan pertama. Mereka bisa bercerita dengan bobot keterlibatan
sebagai saksi sejarah. Baik untuk dipikirkan: masih berapa lama lagi mereka
bisa memberi kesaksian akan peristiwa itu? Hanya sebagai sebuah usulan,
mungkinkah dibikin sebuah dokumentasi kesaksian mereka dalam video yang kemudian
bisa diwariskan kepada orang-orang yang lebih muda.
Lalu,
secara tiap tahun peristiwa itu dikenang. Orang-orang di Nabire berkumpul di
taman itu pada 1 Desember untuk ibadah. Mereka melakukan tabur bunga di atas
tiga pusara itu. Kemudian ada orang-orang, antara lain pendeta dan tokoh adat,
diberi kesempatan untuk menyampaikan pemaknaan atas peristiwa Nabire berdarah. Dengan
memaknai satu peristiwa, peristiwa itu jelas menjadi lebih berbobot daripada
peristiwa yang lain. Orang-orang Papua juga lalu memiliki alasan yang selalu
dibarukan untuk membangun ikatan dengan kejadian itu dan mengenangnya.
Melalui
tindak memaknai itu juga, orang-orang Papua membangun perspektif tertentu untuk
membaca peristiwa itu. Di samping itu, peringatan tahunan itusaya pernah satu
kali ikut menghadirinyamenjadi ruang untuk mengembangkan kesadaran kolektif,
dengan berefleksi pada peristiwa itu. Dalam pemahaman saya, orang-orang Papua
memiliki ritus tahunan yang bisa digunakan untuk menyegarkan memori kolektif
itu.
Di samping
itu, peristiwa tahunan itu juga berpeluang untuk menyuburkan solidaritas
internal orang-orang Papua berdasar pada identitas yang mereka bangun dalam
peringatan itu.
Dalam
ingatan saya, ketika mengikuti peringatan pada 1 Desember di Nabire itu,
orang-orang Papua diajak untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai layaknya
bangsa Israel yang ditindas oleh penguasa lalim Mesir seperti tertulis dalam
Perjanjian Lama. Dalam kata lain, jika dikatakan secara lugas, orang Papua
adalah kaum tertindas atau terjajah yang sedang menanti untuk dibebaskan. Yahwe
mengutus Musa untuk orang Israel. Ada seorang pembebas yang dikirim.
Pengidentifikasian
sebagai bangsa tertindas itu tidak melulu dilandaskan pada satu peristiwa di
Nabire, melainkan pada sejarah yang telah berlangsung sebelumnya. Orang Papua
sudah memiliki konteks historis dan politis, yang lengkap dengan pelanggaran
HAM dan ragam kekerasan militeristik, untuk menempatkan peristiwa di samping
Terminal Oyehe itu.
Meski
tertindas, orang-orang Papua pun diajak untuk melihat diri secara positif,
bahwa mereka telah menghadirkan kejayaaan untuk orang lain. Bangsa Papua, dalam
keadaan terjajah pun, bisa memberkati bangsa lain.
Dalam
peringatan itu, secara spesifik kisah kematian tiga bunga itu tidak
dikisahkan ulang. Tidak seperti kematian Yesus Kristus yang
didramakandiperagakan ulangpada upacara Jumat Agung. Tidak ada sebuah film
yang diputar ulang. Sebagai orang yang baru datang di Nabire jauh setelah
peristiwa itu, saya tidak bisa persis mengerti bagaimana kronologi kematian itu
terjadi. Siapa-siapa yang menjadi aktor pun tidak disebut secara gamblang.
Untuk saya,
sangat jelas upacara itu tidak berhasil sepenuhnya memperingati. Namun, di sisi
yang lain, peringatan itu selalu penting untuk membawa kembali orang Papua
menyadari sejarahnya dan mendalamkan identitas yang mereka bangun. Seperti
ungkapkan juga, peringatan itu juga amat vital bagi proses konstruksi
solidaritas di antara orang-orang Papua. Dan, moment-moment seperti itu juga
berguna untuk membangun klasifikasi di antara orang Papua sendiri: siapa yang
berada di taman itu dan ikut terlibat aktifatau concern dengan peristiwa itudan siapa yang tidak berada di situ
dan tidak menjadi bagian darinya. Singkatnya, kita bisa mengenali outsider dan insider atau in-group dan
out-group.
Johanes Supriyono adalah penulis buku Semiotika dan Melangkah ke Dunia Luas (Pengulatan Anak-anak Papua). Alumnus Magister Universitas Indonesia itu penulis kolom di www.majalahselangkah.com. Ia bisa dihubungi melalui: hansprie@gmail.com
No comments:
Post a Comment