Naftali Edoway, pemerhati masalah sosial di tanah Papua (Foto: Dok pribadi)
Oleh : Naftali Edoway*
Tulisan ini saya awali dengan pernyatan seorang anak muda Turki bernama Abdullah Cevdet tahun 1897;
“Penguasa
dan pemerintah kami tak ingin cahaya menerangi negeri ini. Mereka
menginginkan rakyatnya tetap bodoh, seperti binatang dan dalam keadaan
buruk. Tak ada cahaya kebangkitan yang menyinari hati pejuang kami. Yang
diinginkan pemerintah adalah rakyat tetap seperti binatang, tunduk
seperti domba, membudak dan melayani seperti anjing…”[1]
Pernyataan ini diungkapkan Abdullah saat Turki berada dibawah
pemerintahan Khilafha Utsmani. Abdullah adalah seorang pemimpin mudah
yang ikut mendirikan gerakan muda yang mereka namai
Young Turk atau dalam bahasa setempat
Turki Fatat.
Organisasi kepemudaan Turki ini yang kemudian berhasil menggulingkan
pemerintahan Utsmani yang dianggap sebagai pemerintahan yang menghambat
demokratisasi di Turki.
Indonesia mengembar gemborkan diri sebagai sebuah negara demokrasi.
Untuk melegasi itu ia meratifikasi sejumlah aturan internasional dan
melahirkan sejumlah produk hukum lokal yang diimpikan dilaksanakan
dengan baik.
Misalnya, UU Nomor : 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan
pendapat di muka umum. Namun dalam realitas demokrasi hanya menjadi
wacana bahkan atas nama aturan demokrasi, demokrasi itu diinjak-injak.
Hukum dan kepentingan politik dikedepankan ketimbang penghargaan
terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya, gerakan kaum muda telah
melengserkan penguasa Orde Baru yang otoriter militeristik di tahun 1998
dan 1999, seperti dalam pengalaman di Turki diatas.
Dalam negara demokrasi kebebasan beragama pun dijamin penuh, namun dalam prakteknya mereka justru disingkirkan.
Lihat kasus penutupan gereja di Jawa barat dan penyiksaan dan
pengusiran terhadap kaum Ahmadiyah di pulau Jawa. Dalam kasus ini kita
bisa menilai bahwa penguasa Orde Baru lebih baik ketimbang pemerintahan
setelah reformasi khususnya dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono.
Ironisnya, negara bersedia menerima penghargaan dari sebuah
organisasi Yahudi di New York karena dinilai berhasil membangun dan
menjaga kerukunan umat beragama, walaupun kenyataan dilapangan berbeda.
Bukankah itu tindakan kemunafikan?
Di Papua, penegakkan demokrasi dalam konteks kemanusiaan dan
kebebasan berekspresi terasa sepih. Kemanusiaan orang Papua terus
terenggut oleh roh kematian (entah roh yang sesungguhnya atau roh
penjelmaan dimana manusia dijadikan media).
Kematian akibat penyakit, kelaparan, penembakan, penyiksaan, black
magic, kematian tanpa sebab, dll meningkat setiap saatnya. Selain rakyat
jelata, seperti Abner Malagawak (22), Thomas Blesia (22), dan Ibu
Salomina Klabin (37), ada juga tokoh-tokoh penting yang terbunuh,
misalnya, Agua Alua, Mako Tabuni, Frans Wospakrik, Tony Infandi,
Timotius Murib, Salmon Maurits Yumame, dll.
Mereka adalah penegak demokrasi yang terbunuh oleh mesin pembunuh negara yang seharusnya ikut membela dan menegakkan demokrasi.
Membunuh adalah bentuk lain dari pembungkaman kebebasan berekspresi.
Dan wujud yang lainnya adalah melarang orang untuk demostrasi dan atas
nama hukum mengeluarkan pernyataan di media dalam rangka pembenaran
diri.
Anda bisa lihat komentar Kapolda Papua yang dirilis di media
Bintangpapua (22/06/13) dengan judul “Polda Papua Tidak Pernah
Membungkam Demokrasi di Papua”
[2].
Komentar seperti ini merupakan upaya pembenaran diri negara melalui
Kapolda Papua terhadap semua bentuk kejahatan dan kekerasan yang
dilakukannya selama ini.
Negara mencoba mengelak dan mau mencuci tangan dari tindakannya.
Disini Negara memposisikan dirinya sebagai dewa yang selalu benar dan
tak boleh disentuh atau diprotes.
Apa yang disampaikan Kapolda mewakili negara itu adalah upaya negara
memparalisis orang Papua. Orang Papua hendak dibuat tak berdaya terhadap
realitas yang ada. Negara mengiring orang Papua agar mau menerima apa
saja yang menurut Jakarta baik dan layak.
Namun harus disadari bahwa gaya seperti ini justru menimbun kebencian
dalam diri orang Papua. Ini barangkali disegaja oleh negara untuk
membangkitkan emosi perlawanan rakyat, lalu kemudian rakyat itu dipukul
mundur oleh kekuatan militer. Entalah!
Tapi jika itu terjadi maka spiral kekerasan ala Dom Helder Camara
akan terus menjadi realitas yang tak dapat dihentikan di tanah Papua.
Kekerasan akan semakin menjadi tanpa solusi, sebab masalah Papua dan
Jakarta adalah masalah ideologi.
Menanggapi komentar Kapolda itu, Pdt. Benny Giay dalam jumpa persnya
mengatakan bahwa kelakuan aparat keamanan di Papua itu sama dengan apa
yang dilakukan oleh aparat keamanan penjajah Belanda terhadap gerakan
nasionalis Jawa dan Sumatera tahun 1919-1930an
[3].
“Perilakunya sama dengan watak aparat keamanan dewasa ini di Tanah
Papua terhadap Nasionalis Papua, sehingga melalui media kami serukan dan
menghimbau agar pihak TNI-Polri membuktikan dirinya bahwa TNI-Polro
tidaklah sama dengan tentara dan Polisi Belanda di Jawa atau Sumatera
“tempo doeloe”, dengan mengedepankan dialog dan memberi ruang untuk
orang Papua bisa mengemukakan pendapatnya, sebagai pemenuhan dari salah
satu hak asasi manusia, asalkan tidak tidak menimbulkan
tindakan-tindakan anarkhis.”
Saya sepakat dengan apa yang diutarakan Pdt. Benny Giay diatas, juga
opini dari Petrus K.Farneubun yang bilang bahwa dalam konteks Papua,
pemerintah Indonesia masih berpikir tradisional dengan pendekatan
state securiity approach.
Dimana keamanan negara dan kepentingan nasional diutamakan dari pada melindungi dan memperlakukan warga negaranya dengan baik
[4].
Perlindungan dan penghargaan terhadap nilai kemanusiaan orang Papua
yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam menjalankan pemerintahan
justru diabaikan. Mereka bahkan tersingkir oleh pembangunan bias
pendatang (
migrant biased policy) seperti yang pernah diungkapkan oleh Joko Affandi.
Kenyataan yang lain diungkapkan oleh pater Vincent Suparman, SCJ,
komentarnya, “Selama 10 tahun melayani di pedalaman Papua, saya melihat
masyarakat di sana, selain hidup menderita secara ekonomi, juga masih
hidup di bawah kekerasan dan tekanan militer Indonesia. Masa depan Papua
tidak pasti, orang Papua mau ibadah dilarang, tulis buku soal Papua
dilarang, rekam lagu Papua dilarang dan mau demo juga dilarang. Semua
kegiatan kegiatan itu dianggap makar dan diadili dengan hukuman yang
tidak adil.”
[5]
Itulah wajah demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia dan khususnya
di Papua. Kebijakan negara di Papua tidak bedah dengan apa yang
diungkapkan oleh Abdullah Cevdet di awal tulisan ini. Bahwa pemerintah
tidak ingin ada cahaya bersinar di tanah Papua.
Mereka berusaha mematikan cahaya yang bersinar dari dalam diri orang
Papua, dengan memperlakukan orang Papua seperti binatang, tunduk seperti
domba, membudak dan melayani seperti anjing.
Tapi orang Papua punya harapan karena masih ada cahaya kebangkitan
yang menyinari hati. Sehingga baiklah kita menerima nasehat Pater
Vincet, “Semua orang Papua harus sayangi masa depan orang Papua sendiri.
“Jangan hanya terima kenyataan buruk terus, harus ada sikap perlawanan
menentang segala bentuk penjajahan. Hidupkan kembali semangat hidup dan
kebangkitan era 1961/1962 yang telah dipadamkan itu.” Semoga!
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial di tanah Papua
Sumber: http://suarapapua.com
No comments:
Post a Comment