Jayapura, MAJALAH SELANGKAH -- Kelompok
Kerja (Pokja) Adat, Majelis Rakyat Papua (MRP),
Yakobus Dumupa melalui Pers Release-nya yang dikirimkan kepada www.majalahselangkah.com, Rabu, (15/05/13) mengatakan, pembubaran paksa dan
penangkapan 4 aktivis Papua pada aksi 13 Mei lalu di Jayapura melanggar Undang-Undang dan
Hak Asasi Manusia.
Kata dia, aksi demonstrasi damai yang dilaksanakan oleh Komite
Nasional Papua Barat (KNPB), Garakan Rakyat Demokratik Papua (Garda Papua), West
Papua National Authorithy (WPNA), Mahasiswa Uncen, Gereja dan pihak lainnya
pada tanggal 13 Mei 2013 berujung pada pembubaran secara paksa dan penangkapan
empat orang masing-masing Ketua Umum KNPB, Viktor Yeimo, Sekertaris WPNA,
Marthen Manggaprou, Yongky Ulimpa (23), Mahasiswa Universitas Cenderawasih, dan
Elly Kobak (17), Mahasiswa Universitas Cenderawasih oleh pihak kepolisian.
Kata Dumupa, "Sesuai dengan ketentuan UU No. 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, maka aksi demonstrasi pada
tanggal 13 Mei 2013 adalah sesuai dengan ketentuan UU tersebut. Sebab UU ini
memberikan hak kepada setiap individu baik sendiri-sendiri atau berkelompok
untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum, termasuk dengan cara
berdemonstrasi."
Menurutnya, jika merujuk pada ketentuan UU No. 9 Tahun 1998, maka pihak
kepolisian yang membubarkan paksa demonstrasi dan menangkap beberapa orang
demonstran adalah tindakan yang melenggar aturan perundang-undangan dan hak
asasi manusia.
"Jelas polisi tidak bertindak profesional dan cenderung mengedepankan
tindakan anarki. Sesuai dengan ketentuan UU No. 9 Tahun 1998, pihak pendemo
hanya menyampaikan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian, bukan
meminta izin kepada pihak kepolisian. Dan menurut ketentuan UU tersebut,
pihak kepolisian berkewajiban untuk membantu mengamankan aksi demonstrasi
tersebut, bukan memberikan izin atau tidak memberikan izin, apalagi membubarkan
paksa," katanya.
Ia menjelaskan, pembubaran aksi demonstrasi dan penangkapan beberapa
demonstran tersebut mengindikasikan dua hal. Pertama, adanya ketakutan yang
sistemis dalam tubuh pemerintahan Indonesia tentang aspirasi dan perjuangan
kemerdekaan Papua. Pemerintah Indonesia masih trauma dengan bayang-bayang
dekolonisasi Timor Leste, padahal dengan berdemostrasi tidak serta-merta
membuat Papua merdeka langsung. Kedua, ruang demokrasi di Papua sedang dibunuh
secara sistematis, sehingga penyampaian pendapat di muka umum dianggap ilegal
dan para demontran dianggap separatis.
Berkaitan dengan sikap MRP tentang aksi demonstrasi tersebut, kata
Dumupa, para prinsipnya MRP sudah siap
untuk menerima para demonstran. MRP sama sekali tidak pernah melarang
demosntrasi damai, karena hal itu dianggap hak asasi manusia orang asli Papua
dan bagian dari demokrasi. Mengenai penangkapan empat orang demonstran itu di luar
sepengetahuan MRP. MRP juga tidak pernah meminta pihak kepolisian untuk
membubarkan aksi demonstrasi dan menangkap para demonstran.
"Saya menghimbau kepada pihak kepolisian untuk membebaskan empat orang
demonstran yang telah ditangkap. Dan untuk lain kali pihak kepolisian tidak
boleh melarang aksi demonstrasi damai dan menangkap para demonstran, karena hal
itu tidak semata-mata melanggar hak asasi manusia dan ketentuan
perundang-undangan, tetapi juga menghancurkan wibawa dan kredibilitas Polri dan
negara Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi," tuturnya.
Menurut dia, jika hak asasi manusia terus dilanggar, hukum masih
diinjak-injak dan wibawa Polri dan negara Indonesia terus hancur di mata
internasional, maka bukan tidak mungkin masalah Papua akan semakin mendapat
perhatian dan dukungan internasional yang lebih luas. (GE/MS)
Masa tenang, KPU Kabupaten Jayapura fokus distribusi logistik Pilkada
-
Sentani, Jubi – Memasuki masa tenang Pilkada 2024, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Kabupaten Jayapura, Papua, melaksanakan distribusi logistik pemilu
untuk 1...
4 hours ago
No comments:
Post a Comment