WASHINGTON DC — Hal tersebut
dikemukakan Sri Suparyati, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menanggapi laporan tahunan yang
dikeluarkan Departemen Luar Negeri Amerika baru-baru ini mengenai
praktik-praktik HAM di beberapa negara, termasuk Indonesia.
Sri
Suparyati yang sedang berada di Washington DC antara lain untuk memberi
kesaksian di muka Kongres Amerika, mengatakan, situasi HAM di Indonesia
tidak terlalu jauh berbeda dengan beberapa tahun silam.
"Mungkin
sikonnya tidak serepresif zaman Orba, tetapi pemerintah Indonesia
sekarang represifnya dalam konteks membiarkan. Mereka tidak ingin
mengambil tindakan yang sifatnya berhadapan dengan beberapa kelompok
intoleran, misalnya seperti itu," ujar Suparyati.
Dalam laporan
tahunan Departemen Luar Negeri Amerika, disebutkan bahwa banyak
pemerintah di dunia yang kerap menciptakan iklim intoleran yang memicu
kebencian dan kekerasan. Suparyati menyetujui laporan tersebut, yang
menyoroti kebebasan beragama yang memprihatinkan di Indonesia .
Indonesia,
ujarnya, sekarang terkenal sebagai negara yang tidak menghargai
pluralisme. Masyarakat Indonesia dengan begitu mudahnya tidak mau
menerima keberadaan kelompok masyarakat yang memiliki agama dan
keyakinan berbeda.
Suparyati menambahkan, "Parahnya, masyarakat
Indonesia mencoba menghadapinya dengan represif, dengan kekerasan. Ini
sangat mudah mereka lakukan. Lebih buruk lagi, tidak ada tindakan yang
lebih signifikan dari pemerintah Indonesia dalam menghentikan atau
mengurangi tindakan-tindakan intoleran itu."
Beberapa kasus
pelanggaran HAM yang sangat menonjol di Indonesia menurutnya adalah
persekusi terhadap beberapa kelompok agama seperti Ahmadiyah, Kristen,
dan Syiah, penyalahgunaan kewenangan militer yang belakangan meningkat,
serta buruknya situasi HAM di Papua di mana terdapat ratusan kasus
pelanggaran pada tahun lalu saja.
Ia juga melihat bahwa
pelanggaran HAM sudah meluas, bukan hanya terjadi di daerah-daerah yang
sudah lama menjadi sorotan seperti di Papua. Pelanggaran itu meluas ke
beberapa daerah dengan isu yang berbeda-beda. Dalam hal kebebasan
beragama, misalnya, pelanggaran paling banyak terjadi di Jawa Barat
sekarang ini. Ia mengemukakan contoh-contoh penyerangan terhadap
kelompok Ahmadiyah dan beberapa pelarangan tempat beribadah umat
Kristen.
Ketika disinggung tentang pemberian penghargaan World
Statesman Award dari Appeal of Conscience Foundation untuk Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono, yang dinilai berjasa meningkatkan perdamaian,
toleransi beragama dan menyelesaikan konflik antaretnis, Suparyati
menyatakan menyesalkannya.
Kontras, ujar Suparyati, termasuk di
antara beberapa organisasi masyarakat yang mengirim surat protes ke
Kedutaan Besar Amerika di Jakarta serta berunjuk rasa menentang ide
pemberian penghargaan tersebut.
Suparyati mengatakan, "Apakah
mereka yang memberikan penghargaan tersebut menutup mata terhadap
informasi mengenai apa yang terjadi selama ini di Indonesia? Saya pikir
ini bukan dunia yang tertutup. Teknologi mulai canggih. Tidak mungkin
mereka tidak tahu kondisi kebebasan beragama di Indonesia."
Suparyati
juga mengingatkan bahwa menjelang pemilu tahun depan, akan banyak isu
mengenai HAM yang bakal diangkat sebagai bahan kampanye oleh beberapa
pihak. Jika masyarakat Indonesia tidak cerdas memilah, lanjutnya,
pemimpin yang terpilih mungkin tidak bakal membawa perbaikan dalam
bidang HAM.
Selain memberi kesaksian mengenai situasi dan kondisi
HAM Indonesia di depan Kongres, Sri Suparyati telah bertemu dengan
sejumlah pejabat di PBB, New York, serta dijadwalkan berbicara di
beberapa komisi pemerintah Amerika lainnya, termasuk di Departemen Luar
Negeri, juga untuk membahas situasi HAM di Indonesia sekarang ini.
Sum: http://www.elshampapua.org
No comments:
Post a Comment