Jayapura,
MAJALAH SELANGKAH -- Komisi untuk Orang Hilang dan Tidak Kekerasan (KontraS) dan National Papua Solidarity (Napas) mengecam keras atas sejumlah
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dan pelanggaran hak
asasi manusia yang terus terjadi di Papua.
Dalam catatan KontraS
maupun Napas sejak 30 April sampai 22 Mei 2013, telah
terjadi
3 orang tewas ditembak, 2 orang luka-luka dan 26 orang
ditangkap (6 orang telah dibebaskan pada tanggal 22 Mei). Serangkain kekerasan
yang massif berupa penembakan, penghilangan paksa, pembunuhan, pelarangan dan
pembubaran paksa massa aksi hingga penangkapan dan penahanan yang disertai
dengan penyiksaan dibeberapa tempat diantaranya Biak, Sorong, Timika dan Puncak
Jaya. Mereka yang menjadi korban adalah warga sipil biasa yang dituduh anggota OPM,
mahasiswa yang melakukan demontrasi menyikapi tindakan refresif aparat
keamanan. Tulis Napas melalui press release yang dikirim kepada www.majalahselangkah.com.
Selain itu tindakan diluar prosedur hukum yang dilakukan Aparat
Kepolisian Resort Kota Jayapura (Polresta) yang kembali
membatasi ruang ekspresi bagi warga Papua. Dimana aparat kembali melarang mahasiswa melakukan mimbar
bebas, untuk memperingati 15 Tahun reformasi di Indonesia
di bundaran (lingkaran) Abepura pada hari Kamis 23 Mei 2013. Selain pelarangan,
mereka juga menginterogasi Yason Ngelia, penanggung jawab aksi (mimbar bebas) terkait
aksi 13 Mei di depan Kampus Uncen, dia diinterogasi saat ke Kantor Polresta
untuk mengecek surat tanda terima pemberitahuan dan atau mengecek surat balasan
atas surat pemberitahuan aksi yang mereka ajukan sehari sebelumnya. Ketika itu sempat interogasi terhadap ketua BEM Uncen tersebut
yang berlangsung selama 6 jam (12.00-18.00 WIT).
Terkait beberapa
rentetan peristiwa ini Kontras dan Napas menilai alasan kepolisian tidak
mendasar karena aksi yang disertai penangkapan tanggal 13 Mei lalu tidak
mendasar karena SPP HAM bukan
merupakan sebuah organisasi permanen tetapi solidaritas kemanusiaan yang
dibentuk oleh aktivis HAM untuk merespon Tragedi 1 Mei yang menewaskan 3 orang
warga sipil.
Selain itu mereka juga menilai tindakan aparat ini juga telah membatasi
hak warga untuk berserikat, berkumpul dan berekspresi yang telah dijamin oleh
konstitusi dasar Negara (UUD 1945 Pasal 28 E ayat 3 dan 28 I ayat 1, dan secara
khusus diatur juga dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum, terutama pasal 1 dan 2. dan UU no. 12
tahun 2005 tentang ratifikasi Konvensi hak-hak sipil politik (pasal 19 dan 21)
telah menjamin hak atas kebebasan berekspresi yang dilakukan secara damai oleh
setiap warganya dan negara berkewajiban memberikan jaminan atas pemenuhan hak
tersebut. Bentuk pengingkaran terhadap pemenuhan hak atas kebebasan berekspresi
diatas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah gagal memberikan
perlindungan dan jaminan terpenuhinya hak atas kebebasan berekspresi bagi warga
di Papua.
Oleh sebab itu,
Kontras dan Napas mendesak agar 1. Kapolnas memeriksa
Kapolda Papua, Tito Karnavian dan Kapolres Jayapura atas tindakan pelarangan dan represi terhadap aksi damai 1
dan 13 Mei di Papua. 2. Kapolri untuk segera menghentikan
pelarangan aksi damai, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang
terhadap aktivis HAM dan Mahasiswa serta membebaskan warga sipil yang ditahan
pada tanggal 13 Mei dan semua warga sipil yang ditangkap terkait peringatan 1
Mei 2013 lalu. Dan mendesak Pemerintah Indonesia khususnya
Menteri Luar Negeri agar memberikan akses masuk pada
pelapor khusus PBB sebagai bentuk keterbukaan pemerintah Indonesia terhadap
situasi di Papua, termasuk diantaranya akses pers dalam dan luar negeri.
Mereka juga
mendesak agar dalam rangka pembukaan ruang demokrasi, pemerintah juga harus mencabut
semua instrument hukum dan kebijakan yang membelenggu kebebasan berorganisasi,
berekspresi, mengemukakan pandangan politik secara damai di Papua. (AE/MS)
Sum: http://majalahselangkah.com/
No comments:
Post a Comment