Jakarta -
Di kalangan aktivis muda, slogan lama ‘Inggris kita linggis’ seakan bergaung
kembali sebagai bentuk protes pendirian kantor perwakilan Free West Papua di
Oxford, London. Inilah pukulan berat Inggris terhadap Presiden SBY yang belum
lama ini memperoleh gelar penghargaan dari Ratu Inggris Elizabeth II.
Sikap Pemerintah Inggris yang
mengizinkan berdirinya kantor gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM)
dianggap melecehkan Pemerintah Indonesia era SBY dan merupakan sikap mendua
London yakni satu kaki mendukung integrasi Papua sebagai bagian integral Indonesia,
dan kaki lainnya mendukung Papua merdeka dari Jakarta.
Namun terlepas semua itu, titik
pangkal masalah ini adalah karena Pemerintah Indonesia yang tak bisa
menyelesaikan separatisme di tanah Papua.
Kejengkelan dan kemarahan di
kalangan politisi parlemen amat terasa di mana mereka mendesak Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengembalikan gelar penghargaan dari Ratu Inggris Elizabeth
II sebagai bentuk protes pendirian kantor perwakilan Free West Papua di Oxford.
Hal ini perlu dilakukan karena Inggris bukan sekali ini saja melanggar
komitmennya dalam mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada Oktober 2012 silam, Presiden
SBY menerima gelar penghargaan dari Ratu Elizabet II dengan gelar bernama
"Knight Grand Cross in the Order of the Bath". Gelar itu merupakan
kelas tertinggi dari Order of Bath. Penghargaan ini pertama kali diberikan oleh
Raja George I pada tahun 1725. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang
memiliki prestasi menonjol, baik dari kalangan militer maupun masyarakat sipil.
"Sebagai bentuk protes
pemerintah Indonesia, sebaiknya Bapak Presiden mengembalikan gelar
kebangsawanannya," kata anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Nurul
Arifin di Jakarta, Senin (6/5/2013).
Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq
meminta pemerintah segera mengambil sikap tegas menanggapi permasalahan
sensitif ini. Lebih jauh, dirinya juga mengimbau agar Pemerintah Indonesia
dapat mendesak Pemerintah Inggris untuk tidak memberikan fasilitas dalam bentuk
apa pun kepada OPM.
Dalam hal ini, Duta Besar Inggris di
Jakarta, Mark Canning ketika dipanggil Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
sudah menjelaskan sikap Inggris bahwa pembukaan kantor Free West Papua tidak
mencerminkan pandangan pemerintahnya terkait masalah Papua. Pandangan Dewan
Kota Oxford, terutama visi Benny Wenda, warga Papua yang bermukim di Inggris,
tidak mewakili pandangan di negara itu.
Canning menuturkan bahwa Dewan Kota
Oxford seperti halnya dewan-dewan lain di Inggris bebas mendukung tujuan apa
pun yang mereka inginkan. Namun, dewan-dewan kota itu bukan bagian dari
pemerintah. Canning menegaskan pemerintah Inggris masih menghargai Papua
sebagai bagian dari Indonesia.
Inggris memang ceroboh lantaran
tidak mengkonfirmasi kepada Indonesia soal adanya gerakan kemerdekaan yang
dimotori sekelompok separatis Papua di wilayahnya. Para politisi parlemen
menuding bahwa sikap Inggris itu lantaran adanya faktor kekuasaan politik yang
ingin menguasai sumber daya alam di Papua.
Walhasil, slogan lama era Bung Karno
‘Inggris kita linggis’ seakan kembali bergema di kalangan akivis nasionalis
(bukan politisi), suatu pertanda relasi Jakarta-London sedang membara.
Dalam hal ini, para politisi di
parlemen jelas tidak bakal bisa berbuat apa-apa sebab mereka sekadar politisi
salon untuk menghadapi manuver negeri digdaya seperti Inggris. Artinya,
kemarahan dan kejengkelan mereka sebatas slogan yang diumbar sekedarnya.
[berbagai sumber]
No comments:
Post a Comment