MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN
GRASI?
"Kami tidak butuh dibebaskan dari Penjara, tetapi butuh dan tuntut BEBASKAN Bangsa Papua dari Penjajahan Negara Kolonial Republik Indonesia", demikianlah pernyataan sikap tawanan Politik Papua Merdeka dalam Penjara Negara Kolonial Indonesia, yang dikeluarkan pada hari Jumat, 24 Mei 2013.
Pernyataan itu dikeluarkan oleh 26 Tawanan Politik Papua Merdeka (TAPOL PM) yang mendekam di LP Abepura setelah membaca di media cetak Cepos dan Bintang Papua edisi Kamis 23 Mei 2013 bahwa presiden RI akan bebaskan Tapol Papua melalui pemberian grasi. Berita itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda. Menurut Yunus dalam pertemuan dengan SBY bersama DPRP, MRP, Gubernur Papua dan Menteri Dalam Negeri RI, pada 29 April 2013, SBY berjanji akan bebaskan Tapol Napol Papua disaat SBY berkunjung ke Papua pada bulan Agustus 2013. Menyikapi itu 26 Tawanan Politik Papua merdeka menyatakan menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden RI. Mengapa para Tapol Papua Merdeka menolak rencana pemberian grasi dari presiden RI? Pertanyaan ini saya jelaskan dalam artikel di bawah ini.
APA ITU GRASI, AMNESTI, ABOLISI, REHABLITASI DAN REMISI?
GRASI artinya pengampunan. Presiden memiliki hak perogratif untuk memberikan grasi. Grasi adalah hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Grasi bukanlah upaya hukum, karena upaya hukum sampai pada Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Grasi merupakan upaya non hukum dan diputuskan secara subyektif oleh Presiden. Pemberian grasi bukan berarti menghilangkan kesalahan, bukan juga merehablitasi hukuman terhadap terpidana (lihat penjelasan dalam UU nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi). Dalam hal pemberian grasi, Presiden tidak mengintervensi pihak yudikatif, tetapi itu hak perogatif presiden sesuai amanat UUD 1945. Pengajuan permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana atau penasehat hukum atau oleh keluarga atas persetujuan terpidana, kecuali terpidana mati, permohonan dapat diajukan oleh keluarga tanpa persetujuan terpidana (lih. Pasal 6 UU nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi). Permohonan grasi diajukan bagi
terpidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.
AMNESTI artinya pengampunan. Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah atau pun belum dijatuhi hukuman, yang sudah atau pun belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Tentang amnesti dan abolisi diatur dalam UU nomor 11 tahun 1954. Pemberian amnesti yang pernah diberikan terhadap delik yang bersifat seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat terhadap kepentingan negara.
ABOLISI artinya menghapuskan, mengakhiri, meniadakan. Abolisi bukan merupakan pengampunan, tetapi tindakan penghentian proses pemeriksaan dan tuntutan pidana terhadap tersangka dengan pertimbangan tertentu oleh kepala negara.
REHABLITASI artinya pemulihan dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, seperti pemulihan nama baik. Rehablitasi merupakan suatu tindakan presiden, dalam rangka mengembalikan hak seseorang, yang telah hilang karena suatu keputusan hakim, yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seseorang tersangka, tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehablitasi ini terletak pada nilai kehormatannya diperoleh kembali dan hak itu tidak tergantung kepada undang-undang, tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.
REMISI artinya pengurangan. Remisi merupakan pembatalan lengkap atau sebagian dari hukuman pidana, sementara masih dianggap bersalah karena melakukan kejahatan. Dengan kata lain pemotongan masa tahanan.
Pemberian grasi, amnesti, abolisi, rehablitasi adalah hak prerogatif Presiden. Dalam memberikan grasi dan rehablitasi, presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkama Agung (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 1). Sedangkan dalam pemberian amnesti dan abolisi presiden memperhatikan pertimbangan DPR, (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 2).
MENGAPA PARA TAPOL PM TOLAK GRASI?
Dasar penolakan rencana pemberian grasi adalah: "Tawanan Politik Papua Merdeka tidak pernah dan tidak akan pernah mengajukan permohonan pengampunan berupa grasi dari kepala negara Kolonial Republik Indonesia, karena KAMI TIDAK BERSALAH; Justru sebaliknya kami tuntut Negara Kolonial Republik Indonesia: 1) Meminta maaf kepada bangsa Papua atas aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI, di mana akibat dari aneksasi itu telah melahirkan: diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan menuju kepunahan etnis Papua; 2) RI mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua".
Penolakan rencana pemberian grasi ini dilatar-belakangi delapan point di bawah ini:
Pertama, kemerdekaan (Penentuan Nasib sendiri) adalah hak segala bangsa, sebagaimana diatur juga dalam Deklarasi Umum PBB dan kovenan-kovenan Internasional, antara lain: kovenan internasional tentang hak hak sipil dan politik; Kovenan Internasional tentang hak hak ekonomi dan sosial budaya, dan deklarasi hak-hak masyarakat pribumi; dan juga sebagaimana amanat konstitusi NKRI dalam pembukaan UUD 1945 pragraf pertama.
Kedua, bangsa Papua juga memiliki hak yang sama untuk berdaulat penuh. Maka pada 19 Oktober 1961 dalam Kongres Papua I oleh Komite Nasional Papua menyatakan "Manifesto Politik Kemerdekaan Bangsa Papua" sebagai dasar mendapatkan status kedaulatan penuh, yang selanjutnya dirayakan pada 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura) dan di seluruh ibu kota afdeling di Tanah Papua.
Ketiga, Namun bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI melalui maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961. Yang dilanjutkan dengan invasi politik dan militer pada tahun 1962.
Keempat, Invasi Politik diwujudkan melalui perjanjian antara Belanda dan RI dengan mediasi PBB atas settingan Amerika Serikat, yang disebut "Perjanjian New York" secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua pada 15 Agustus 1962.
Kelima, Penentuan Pendapat Rakyat tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum Internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian New York. "Act of free voice" (tindakan pemilihan bebas) diubah oleh RI menjadi "Act of no free voice" (tindakan pemilihan tidak bebas). Atau dapat pula disebut Pemaksaan Pendapat Rakyat, bukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), maka PEPERA 1969 itu cacat hukum dan cacat moral.
Keenam, Bangsa Papua tidak pernah terlibat berjuang untuk mendirikan NKRI dan bangsa Papua tidak pernah sepakat dengan bebas untuk bergabung dalam NKRI.
Ketujuh, karena itu pendudukan NKRI di tanah Papua adalah illegal, baik secara hukum dan morat cacat.
Kedelapan, bangsa Papua secara budaya dan letak geografis sangat berbeda dengan Ras Melayu. Rakyat bangsa Papua adalah ras negroid, rumpun Melanesia.
APAKAH IDEOLOGI MABRUK DAPAT DIGADAIKAN DENGAN GRASI?
Jawab ku : Grasi tidak bisa digadaikan dengan perjuangan kebebasan bangsa Papua. Ideologi mabruk tetap akan dipertahankan sampai kapan pun. Ideologi mabruk memberi motivasi bagi gerakan pembebasan nasional Papua. Ideologi mabruk mengalir dalam pembulu nadi setiap orang Papua yang merindukan kebebasan total.
Papua Merdeka adalah HARGA HIDUP karena itu Papua Merdeka tidak dapat digadaikan dalam bentuk tawaran apa pun dari RI; Papua Merdeka adalah API HIDUP karena itu api revolusi tetap akan hidup dan tidak akan pernah dipadamkan oleh siapa pun dan dengan cara serta kekuatan apa pun.
Tekad Tawanan Politik Papua Merdeka sudah bulat yaitu "Berjuang sampai titik darah penghabisan dan tidak akan pernah menyerah kepada rezim penjajah Indonesia". Mengajukan permohonan grasi berarti meminta pengampunan dari presiden. Siapa yang bersalah, jadi presiden SBY mau berikan pengampunan? Tapol Papua Merdeka tidak bersalah, maka kami tidak butuh pengampunan dari kepala negara kolonial Indonesia. Kami Tapol Papua Merdeka tidak pernah mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI. Kami tidak pernah minta keluarga dan penasehat hukum kami untuk mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI. Kami menolak tegas jika ada pihak lain yang ajukan permohonan grasi ke presiden RI.
Kami tahu proses mengajukan grasi dan tahu syarat yang harus dipenuhi dalam surat permohonan grasi. Mengajukan permohonan grasi berarti mengakui bersalah, menyesal, mengakui Papua dalam NKRI dan memohon pengampunan kepada presiden RI. Menerima grasi berarti menyerah kepada rezim penjajah RI dan itu tidak akan pernah terjadi pada kami. Mengajukan grasi berarti tanda menyerah dan itu suatu kekejian bagi kami. Dan menyerah berarti pengkhianat.
Saya memiliki pengalaman dengan seorang Tapol Papua pada tahun 2009. Ia pernah mengajukan permohonan grasi. Syarat utama dalam surat permohonan grasi kepada presiden, khususnya bagi terpidana "makar", saat itu ia buat adalah membuat surat pernyataan dan permohonan grasi yang berisi: pertama, ia mengaku bersalah; kedua, ia menyatakan penyesalan atas kasus yang dibuatnya; ketiga, ia menyatakan tidak akan mengulangi perbuatan pidana yang sama; keempat, ia mengakui Papua dalam NKRI; kelima, karena itu ia memohon pengampunan dari Presiden RI. Surat pernyataan itu ia tanda-tangan di atas meterai 6.000. Surat permohonan grasi saat itu, ia dibantu pihak Penjara, diajukan ke presiden RI melalui pengadilan negeri yang telah mengadili dan memutuskan perkara pidana nya. Presiden bisa mengabulkan dan juga menolak setelah mendapat pertimbangan dari Mahkama Agung. Setelah satu tahun empat bulan kemudian, barulah permohonan grasi yang ia ajukan dikabulkan oleh Presiden
RI, SBY.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, hanya satu orang dugaan makar yang pernah mengajukan permohonan grasi. Bagi kami Tapol Papua Merdeka yang lain, pemberian grasi dari presiden RI itu sebagai bentuk penghinaan / pelecehan terhadap perjuangan bangsa Papua. Ingat: Tapol Papua Merdeka tidak butuh Grasi; tetapi Tapol Papua Merdeka butuh dan tuntut kembalikan hak kemerdekaan bangsa Papua yang telah dianeksasi melalui invasi politik dan militer.
APA SIKAP TAPOL PM JIKA ADA PEMBERIAN AMNESTI?
Amnesi diberikan oleh presiden tanpa mengajukan permohonan amnesti oleh terpidana atau keluarga atau penasehat hukum kepada presiden RI. Amnesti diberikan oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR. Amnesti berbeda dengan grasi. Amnesti adalah pernyataan ampunan dari presiden tanpa diminta oleh para tapol, keluarga maupun penasehat hukum. Amnesti diberikan bukan karena kemauan baik dari kepala negara, tetapi demi kepentingan Negara, demi selamatkan Negara dari sorotan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Bangsa Papua memiliki pengalaman, pada tahun 1999 para Tapol Papua dibebaskan oleh presiden RI melalui pemberian amnesti. Pembebasan Tapol Papua saat itu dapat terjadi karena adanya desakan dari masyarakat Internasional dan juga dari berapa kalangan di Indonesia. Saat itu bagi yang masih dalam proses hukum, presiden memberikan abolisi. Amnesti adalah pembebasan tanpa syarat. Sedangkan grasi adalah pembebasan bersyarat. Pada tahun 1999 Tapol Papua dibebaskan tanpa syarat (amnesti).
Jika kemudian presiden RI berencana berikan amnesti bagi para Tapol Papua Merdeka, maka amnesti itu akan dipertimbangkan oleh para Tapol Papua Merdeka: apakah diterima atau tidak. Karena pada tahun 1999 para Tapol Papua Merdeka pernah dibebaskan, tetapi setelah Tapol dibebaskan, pemerintah Indonesia tidak memiliki niat yang tulus untuk selesaikan masalah-masalah Papua, tetapi justru UU Otsus Papua dipaksakan oleh RI secara sepihak untuk diterapkan di tanah Papua. RI memandang UU Otsus Papua solusi final, namun ternyata sudah 12 tahun era Otsus Papua, tidak mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang terjadi di era Implementasi UU Otsus Papua adalah makin meningkatnya diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.
Bersamaan dengan wacana pemberian grasi oleh presiden RI kepada Tapol, kami sudah ikuti melalui media cetak bahwa Jakarta sedang paksakan rekonstruksi UU Otsus, yang dinamakan Otsus Plus Papua atau disebut UU Pemerintahan Papua. Kami sudah tahu bahwa Tapol Papua Merdeka dibebaskan dalam rangka melegitimasi RUU Pemerintahan Papua yang sedang digodok di Jakarta untuk diterapkan di Papua. Maka itu, para Tapol Papua Merdeka tidak akan mengulangi nasib yang sama seperti pembebasan para Tapol Papua terdahulu pada akhir tahun 1999, di mana pembebasan Tapol saat itu disambut dengan pemaksaan penerapan UU Nomor 21 tentang Otsus Papua.
APA PRA SYARAT MENERIMA AMNESTI?
Kami menolak tegas UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua. Negara Indonesia segera berhenti menerapkan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua secara sepihak. Karena upaya itu bukan selesaikan masalah-masalah Papua. Kami tapol Papua akan menerima amnesti, jika ada langkah-langkah nyata menuju pemulihan bangsa Papua melalui dua opsi yaitu:
Opsi pertama adalah Negara Indonesia mengakui dan mengembalikan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI;
Opsi kedua adalah antara dua bangsa dan dua negara siap dan sudah memulai berunding/dialog untuk membicarakan masa depan dua bangsa dan dua negara yang setara yang dimediasi PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral.
Itulah pra syarat dari para Tapol Papua Merdeka untuk menerima amnesti dari Kepala Negara Kolonial RI. Jika pra syarat ini tidak dilakukan oleh Negara kolonial Indonesia sebagai langkah nyata menuju pemulihan atau rehablitasi bagi bangsa Papua, maka amnesti yang akan ditawarkan kepada para tapol Papua merdeka akan sia-sia karena sulit diterima tanpa adanya komitmen tulus dari RI untuk selesaikan masalah-masalah Papua.
Tanpa selesaikan masalah utama yakni sejarah politik bangsa Papua yang kini berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan tetapi pasti, pembebasan para tapol Papua merdeka dari penjara, bukanlah penyelesaian masalah. Kami bisa dibebaskan dari penjara, tetapi jika RI tidak selesaikan masalah Utama Papua, maka pembebasan tapol Papua merdeka tidak akan memberi arti apa-apa bagi perjuangan bangsa Papua. Lebih baik bertahan di dalam Penjara, dari pada menerima amnesti. Kami akan menanti RI memilih opsi yang mana: Apakah mengakui kemerdekaan bangsa Papua? Atau selesaikan masalah-masalah Papua melalui perundingan yang setara dan bermartabat yang dimediasi oleh PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral untuk melahirkan solusi dua bangsa dan dua negara untuk mengakhiri penjajahan Indonesia di Tanah Papua.
PESAN KEPADA SEMUA PIHAK YANG PEDULI DENGAN TAPOL
Penolakan atas rencana pemberian grasi dari presiden RI, yang telah dikeluarkan para Tapol Papua Merdeka, bukan untuk melemahkan atau melecehkan perjuangan dari semua pihak yang peduli dengan para Tapol. Kami mengapresiasi upaya Anda semua dalam bentuk advokasi dan kampanye untuk pembebasan para Tapol tanpa syarat. Pernyataan sikap Tapol Papua Merdeka itu, pada prinsipnya memboboti advokasi dan kampanye pembebasan yang didorong oleh Anda semua yang peduli dengan Papua, agar para Tapol ke luar (bebas) melalui pintu penjara menuju kebebasan bangsa Papua dari penjajahan RI.
Melalui pernyataan sikap itu, kami Tapol Papua Merdeka mau sampaikan bahwa Perjuangan Anda semua tidak sampai pada pembebasan Tapol Papua merdeka dari penjara kecil. Perjuangan utama kita semua adalah perjuangan untuk bebaskan bangsa Papua dari penjara besar yakni bangsa Papua bebas (merdeka penuh) dari penjajahan negara kolonial Indonesia.
Pembebasan Tapol Papua merdeka dari Penjara, tidak akan pernah selesaikan masalah utama yakni masalah sejarah politik bangsa Papua. Sumber utama konflik di tanah Papua berawal dari aneksasi Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan militer, maka itu kita semua satukan barisan untuk menyentuh masalah mendasar ini, dengan menempuh langkah-langkah nyata untuk mengakhiri dararut kemanusian secara terselubung yang amat mengerikan yang menimpa rakyat bangsa Papua. Semua pihak yang peduli dengan Papua, memiliki tanggung jawab untuk selamatkan bangsa Papua dari : marginalisasi, diskriminasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.
Penulis: Selpius Bobii, (Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura)
Oleh: Selpius Bobii
|| Penjara Abepura, 01 Juni 2013 ||
"Kami tidak butuh dibebaskan dari Penjara, tetapi butuh dan tuntut BEBASKAN Bangsa Papua dari Penjajahan Negara Kolonial Republik Indonesia", demikianlah pernyataan sikap tawanan Politik Papua Merdeka dalam Penjara Negara Kolonial Indonesia, yang dikeluarkan pada hari Jumat, 24 Mei 2013.
Pernyataan itu dikeluarkan oleh 26 Tawanan Politik Papua Merdeka (TAPOL PM) yang mendekam di LP Abepura setelah membaca di media cetak Cepos dan Bintang Papua edisi Kamis 23 Mei 2013 bahwa presiden RI akan bebaskan Tapol Papua melalui pemberian grasi. Berita itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda. Menurut Yunus dalam pertemuan dengan SBY bersama DPRP, MRP, Gubernur Papua dan Menteri Dalam Negeri RI, pada 29 April 2013, SBY berjanji akan bebaskan Tapol Napol Papua disaat SBY berkunjung ke Papua pada bulan Agustus 2013. Menyikapi itu 26 Tawanan Politik Papua merdeka menyatakan menolak rencana pemberian Grasi oleh Presiden RI. Mengapa para Tapol Papua Merdeka menolak rencana pemberian grasi dari presiden RI? Pertanyaan ini saya jelaskan dalam artikel di bawah ini.
APA ITU GRASI, AMNESTI, ABOLISI, REHABLITASI DAN REMISI?
GRASI artinya pengampunan. Presiden memiliki hak perogratif untuk memberikan grasi. Grasi adalah hak untuk memberikan pengurangan hukuman, pengampunan, bahkan pembebasan hukuman sama sekali. Grasi bukanlah upaya hukum, karena upaya hukum sampai pada Kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Grasi merupakan upaya non hukum dan diputuskan secara subyektif oleh Presiden. Pemberian grasi bukan berarti menghilangkan kesalahan, bukan juga merehablitasi hukuman terhadap terpidana (lihat penjelasan dalam UU nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi). Dalam hal pemberian grasi, Presiden tidak mengintervensi pihak yudikatif, tetapi itu hak perogatif presiden sesuai amanat UUD 1945. Pengajuan permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana atau penasehat hukum atau oleh keluarga atas persetujuan terpidana, kecuali terpidana mati, permohonan dapat diajukan oleh keluarga tanpa persetujuan terpidana (lih. Pasal 6 UU nomor 22 tahun 2002 tentang Grasi). Permohonan grasi diajukan bagi
terpidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling rendah 2 tahun.
AMNESTI artinya pengampunan. Amnesti merupakan suatu pernyataan terhadap orang banyak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu. Amnesti ini diberikan kepada orang-orang yang sudah atau pun belum dijatuhi hukuman, yang sudah atau pun belum diadakan pengusutan atau pemeriksaan terhadap tindak pidana tersebut. Tentang amnesti dan abolisi diatur dalam UU nomor 11 tahun 1954. Pemberian amnesti yang pernah diberikan terhadap delik yang bersifat seperti pemberontakan atau suatu pemogokan kaum buruh yang membawa akibat terhadap kepentingan negara.
ABOLISI artinya menghapuskan, mengakhiri, meniadakan. Abolisi bukan merupakan pengampunan, tetapi tindakan penghentian proses pemeriksaan dan tuntutan pidana terhadap tersangka dengan pertimbangan tertentu oleh kepala negara.
REHABLITASI artinya pemulihan dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya, seperti pemulihan nama baik. Rehablitasi merupakan suatu tindakan presiden, dalam rangka mengembalikan hak seseorang, yang telah hilang karena suatu keputusan hakim, yang ternyata dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan seseorang tersangka, tidak seberapa dibandingkan dengan perkiraan semula atau bahkan ia ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehablitasi ini terletak pada nilai kehormatannya diperoleh kembali dan hak itu tidak tergantung kepada undang-undang, tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.
REMISI artinya pengurangan. Remisi merupakan pembatalan lengkap atau sebagian dari hukuman pidana, sementara masih dianggap bersalah karena melakukan kejahatan. Dengan kata lain pemotongan masa tahanan.
Pemberian grasi, amnesti, abolisi, rehablitasi adalah hak prerogatif Presiden. Dalam memberikan grasi dan rehablitasi, presiden memperhatikan pertimbangan dari Mahkama Agung (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 1). Sedangkan dalam pemberian amnesti dan abolisi presiden memperhatikan pertimbangan DPR, (lih. Amandemen UUD 1945 pasal 14 ayat 2).
MENGAPA PARA TAPOL PM TOLAK GRASI?
Dasar penolakan rencana pemberian grasi adalah: "Tawanan Politik Papua Merdeka tidak pernah dan tidak akan pernah mengajukan permohonan pengampunan berupa grasi dari kepala negara Kolonial Republik Indonesia, karena KAMI TIDAK BERSALAH; Justru sebaliknya kami tuntut Negara Kolonial Republik Indonesia: 1) Meminta maaf kepada bangsa Papua atas aneksasi bangsa Papua ke dalam NKRI, di mana akibat dari aneksasi itu telah melahirkan: diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan menuju kepunahan etnis Papua; 2) RI mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua".
Penolakan rencana pemberian grasi ini dilatar-belakangi delapan point di bawah ini:
Pertama, kemerdekaan (Penentuan Nasib sendiri) adalah hak segala bangsa, sebagaimana diatur juga dalam Deklarasi Umum PBB dan kovenan-kovenan Internasional, antara lain: kovenan internasional tentang hak hak sipil dan politik; Kovenan Internasional tentang hak hak ekonomi dan sosial budaya, dan deklarasi hak-hak masyarakat pribumi; dan juga sebagaimana amanat konstitusi NKRI dalam pembukaan UUD 1945 pragraf pertama.
Kedua, bangsa Papua juga memiliki hak yang sama untuk berdaulat penuh. Maka pada 19 Oktober 1961 dalam Kongres Papua I oleh Komite Nasional Papua menyatakan "Manifesto Politik Kemerdekaan Bangsa Papua" sebagai dasar mendapatkan status kedaulatan penuh, yang selanjutnya dirayakan pada 1 Desember 1961 di Hollandia (kini Jayapura) dan di seluruh ibu kota afdeling di Tanah Papua.
Ketiga, Namun bangsa Papua dianeksasi ke dalam NKRI melalui maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961. Yang dilanjutkan dengan invasi politik dan militer pada tahun 1962.
Keempat, Invasi Politik diwujudkan melalui perjanjian antara Belanda dan RI dengan mediasi PBB atas settingan Amerika Serikat, yang disebut "Perjanjian New York" secara sepihak tanpa melibatkan orang asli Papua pada 15 Agustus 1962.
Kelima, Penentuan Pendapat Rakyat tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum Internasional sebagaimana diatur dalam perjanjian New York. "Act of free voice" (tindakan pemilihan bebas) diubah oleh RI menjadi "Act of no free voice" (tindakan pemilihan tidak bebas). Atau dapat pula disebut Pemaksaan Pendapat Rakyat, bukan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), maka PEPERA 1969 itu cacat hukum dan cacat moral.
Keenam, Bangsa Papua tidak pernah terlibat berjuang untuk mendirikan NKRI dan bangsa Papua tidak pernah sepakat dengan bebas untuk bergabung dalam NKRI.
Ketujuh, karena itu pendudukan NKRI di tanah Papua adalah illegal, baik secara hukum dan morat cacat.
Kedelapan, bangsa Papua secara budaya dan letak geografis sangat berbeda dengan Ras Melayu. Rakyat bangsa Papua adalah ras negroid, rumpun Melanesia.
APAKAH IDEOLOGI MABRUK DAPAT DIGADAIKAN DENGAN GRASI?
Jawab ku : Grasi tidak bisa digadaikan dengan perjuangan kebebasan bangsa Papua. Ideologi mabruk tetap akan dipertahankan sampai kapan pun. Ideologi mabruk memberi motivasi bagi gerakan pembebasan nasional Papua. Ideologi mabruk mengalir dalam pembulu nadi setiap orang Papua yang merindukan kebebasan total.
Papua Merdeka adalah HARGA HIDUP karena itu Papua Merdeka tidak dapat digadaikan dalam bentuk tawaran apa pun dari RI; Papua Merdeka adalah API HIDUP karena itu api revolusi tetap akan hidup dan tidak akan pernah dipadamkan oleh siapa pun dan dengan cara serta kekuatan apa pun.
Tekad Tawanan Politik Papua Merdeka sudah bulat yaitu "Berjuang sampai titik darah penghabisan dan tidak akan pernah menyerah kepada rezim penjajah Indonesia". Mengajukan permohonan grasi berarti meminta pengampunan dari presiden. Siapa yang bersalah, jadi presiden SBY mau berikan pengampunan? Tapol Papua Merdeka tidak bersalah, maka kami tidak butuh pengampunan dari kepala negara kolonial Indonesia. Kami Tapol Papua Merdeka tidak pernah mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI. Kami tidak pernah minta keluarga dan penasehat hukum kami untuk mengajukan permohonan grasi kepada presiden RI. Kami menolak tegas jika ada pihak lain yang ajukan permohonan grasi ke presiden RI.
Kami tahu proses mengajukan grasi dan tahu syarat yang harus dipenuhi dalam surat permohonan grasi. Mengajukan permohonan grasi berarti mengakui bersalah, menyesal, mengakui Papua dalam NKRI dan memohon pengampunan kepada presiden RI. Menerima grasi berarti menyerah kepada rezim penjajah RI dan itu tidak akan pernah terjadi pada kami. Mengajukan grasi berarti tanda menyerah dan itu suatu kekejian bagi kami. Dan menyerah berarti pengkhianat.
Saya memiliki pengalaman dengan seorang Tapol Papua pada tahun 2009. Ia pernah mengajukan permohonan grasi. Syarat utama dalam surat permohonan grasi kepada presiden, khususnya bagi terpidana "makar", saat itu ia buat adalah membuat surat pernyataan dan permohonan grasi yang berisi: pertama, ia mengaku bersalah; kedua, ia menyatakan penyesalan atas kasus yang dibuatnya; ketiga, ia menyatakan tidak akan mengulangi perbuatan pidana yang sama; keempat, ia mengakui Papua dalam NKRI; kelima, karena itu ia memohon pengampunan dari Presiden RI. Surat pernyataan itu ia tanda-tangan di atas meterai 6.000. Surat permohonan grasi saat itu, ia dibantu pihak Penjara, diajukan ke presiden RI melalui pengadilan negeri yang telah mengadili dan memutuskan perkara pidana nya. Presiden bisa mengabulkan dan juga menolak setelah mendapat pertimbangan dari Mahkama Agung. Setelah satu tahun empat bulan kemudian, barulah permohonan grasi yang ia ajukan dikabulkan oleh Presiden
RI, SBY.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Papua, hanya satu orang dugaan makar yang pernah mengajukan permohonan grasi. Bagi kami Tapol Papua Merdeka yang lain, pemberian grasi dari presiden RI itu sebagai bentuk penghinaan / pelecehan terhadap perjuangan bangsa Papua. Ingat: Tapol Papua Merdeka tidak butuh Grasi; tetapi Tapol Papua Merdeka butuh dan tuntut kembalikan hak kemerdekaan bangsa Papua yang telah dianeksasi melalui invasi politik dan militer.
APA SIKAP TAPOL PM JIKA ADA PEMBERIAN AMNESTI?
Amnesi diberikan oleh presiden tanpa mengajukan permohonan amnesti oleh terpidana atau keluarga atau penasehat hukum kepada presiden RI. Amnesti diberikan oleh presiden setelah mendapat pertimbangan dari DPR. Amnesti berbeda dengan grasi. Amnesti adalah pernyataan ampunan dari presiden tanpa diminta oleh para tapol, keluarga maupun penasehat hukum. Amnesti diberikan bukan karena kemauan baik dari kepala negara, tetapi demi kepentingan Negara, demi selamatkan Negara dari sorotan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Bangsa Papua memiliki pengalaman, pada tahun 1999 para Tapol Papua dibebaskan oleh presiden RI melalui pemberian amnesti. Pembebasan Tapol Papua saat itu dapat terjadi karena adanya desakan dari masyarakat Internasional dan juga dari berapa kalangan di Indonesia. Saat itu bagi yang masih dalam proses hukum, presiden memberikan abolisi. Amnesti adalah pembebasan tanpa syarat. Sedangkan grasi adalah pembebasan bersyarat. Pada tahun 1999 Tapol Papua dibebaskan tanpa syarat (amnesti).
Jika kemudian presiden RI berencana berikan amnesti bagi para Tapol Papua Merdeka, maka amnesti itu akan dipertimbangkan oleh para Tapol Papua Merdeka: apakah diterima atau tidak. Karena pada tahun 1999 para Tapol Papua Merdeka pernah dibebaskan, tetapi setelah Tapol dibebaskan, pemerintah Indonesia tidak memiliki niat yang tulus untuk selesaikan masalah-masalah Papua, tetapi justru UU Otsus Papua dipaksakan oleh RI secara sepihak untuk diterapkan di tanah Papua. RI memandang UU Otsus Papua solusi final, namun ternyata sudah 12 tahun era Otsus Papua, tidak mengalami perubahan signifikan. Perubahan yang terjadi di era Implementasi UU Otsus Papua adalah makin meningkatnya diskriminasi, marginalisasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.
Bersamaan dengan wacana pemberian grasi oleh presiden RI kepada Tapol, kami sudah ikuti melalui media cetak bahwa Jakarta sedang paksakan rekonstruksi UU Otsus, yang dinamakan Otsus Plus Papua atau disebut UU Pemerintahan Papua. Kami sudah tahu bahwa Tapol Papua Merdeka dibebaskan dalam rangka melegitimasi RUU Pemerintahan Papua yang sedang digodok di Jakarta untuk diterapkan di Papua. Maka itu, para Tapol Papua Merdeka tidak akan mengulangi nasib yang sama seperti pembebasan para Tapol Papua terdahulu pada akhir tahun 1999, di mana pembebasan Tapol saat itu disambut dengan pemaksaan penerapan UU Nomor 21 tentang Otsus Papua.
APA PRA SYARAT MENERIMA AMNESTI?
Kami menolak tegas UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua. Negara Indonesia segera berhenti menerapkan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua secara sepihak. Karena upaya itu bukan selesaikan masalah-masalah Papua. Kami tapol Papua akan menerima amnesti, jika ada langkah-langkah nyata menuju pemulihan bangsa Papua melalui dua opsi yaitu:
Opsi pertama adalah Negara Indonesia mengakui dan mengembalikan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI;
Opsi kedua adalah antara dua bangsa dan dua negara siap dan sudah memulai berunding/dialog untuk membicarakan masa depan dua bangsa dan dua negara yang setara yang dimediasi PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral.
Itulah pra syarat dari para Tapol Papua Merdeka untuk menerima amnesti dari Kepala Negara Kolonial RI. Jika pra syarat ini tidak dilakukan oleh Negara kolonial Indonesia sebagai langkah nyata menuju pemulihan atau rehablitasi bagi bangsa Papua, maka amnesti yang akan ditawarkan kepada para tapol Papua merdeka akan sia-sia karena sulit diterima tanpa adanya komitmen tulus dari RI untuk selesaikan masalah-masalah Papua.
Tanpa selesaikan masalah utama yakni sejarah politik bangsa Papua yang kini berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara perlahan-lahan tetapi pasti, pembebasan para tapol Papua merdeka dari penjara, bukanlah penyelesaian masalah. Kami bisa dibebaskan dari penjara, tetapi jika RI tidak selesaikan masalah Utama Papua, maka pembebasan tapol Papua merdeka tidak akan memberi arti apa-apa bagi perjuangan bangsa Papua. Lebih baik bertahan di dalam Penjara, dari pada menerima amnesti. Kami akan menanti RI memilih opsi yang mana: Apakah mengakui kemerdekaan bangsa Papua? Atau selesaikan masalah-masalah Papua melalui perundingan yang setara dan bermartabat yang dimediasi oleh PBB atau pihak ketiga (negara) yang netral untuk melahirkan solusi dua bangsa dan dua negara untuk mengakhiri penjajahan Indonesia di Tanah Papua.
PESAN KEPADA SEMUA PIHAK YANG PEDULI DENGAN TAPOL
Penolakan atas rencana pemberian grasi dari presiden RI, yang telah dikeluarkan para Tapol Papua Merdeka, bukan untuk melemahkan atau melecehkan perjuangan dari semua pihak yang peduli dengan para Tapol. Kami mengapresiasi upaya Anda semua dalam bentuk advokasi dan kampanye untuk pembebasan para Tapol tanpa syarat. Pernyataan sikap Tapol Papua Merdeka itu, pada prinsipnya memboboti advokasi dan kampanye pembebasan yang didorong oleh Anda semua yang peduli dengan Papua, agar para Tapol ke luar (bebas) melalui pintu penjara menuju kebebasan bangsa Papua dari penjajahan RI.
Melalui pernyataan sikap itu, kami Tapol Papua Merdeka mau sampaikan bahwa Perjuangan Anda semua tidak sampai pada pembebasan Tapol Papua merdeka dari penjara kecil. Perjuangan utama kita semua adalah perjuangan untuk bebaskan bangsa Papua dari penjara besar yakni bangsa Papua bebas (merdeka penuh) dari penjajahan negara kolonial Indonesia.
Pembebasan Tapol Papua merdeka dari Penjara, tidak akan pernah selesaikan masalah utama yakni masalah sejarah politik bangsa Papua. Sumber utama konflik di tanah Papua berawal dari aneksasi Papua ke dalam NKRI melalui invasi politik dan militer, maka itu kita semua satukan barisan untuk menyentuh masalah mendasar ini, dengan menempuh langkah-langkah nyata untuk mengakhiri dararut kemanusian secara terselubung yang amat mengerikan yang menimpa rakyat bangsa Papua. Semua pihak yang peduli dengan Papua, memiliki tanggung jawab untuk selamatkan bangsa Papua dari : marginalisasi, diskriminasi, minoritas dan kepunahan etnis Papua.
Penulis: Selpius Bobii, (Ketua umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat; yang juga sebagai Tawanan Politik Papua Merdeka di Penjara Abepura)
Oleh: Selpius Bobii
|| Penjara Abepura, 01 Juni 2013 ||
Sumber:https://www.facebook.com/komunitas Dogiyai
No comments:
Post a Comment