Namun, hingga akhir Mei 2013, website Papuan Behind Bars kembali melaporkan bahwa jumlah Tapol Papua meningkat secara signifikan, yakni menjadi 76 orang.
“Tampak peningkatan jumlah penangkapan demonstrasi karena aktivitas mereka pada 1 Mei 2013, dalam memperingati 50 tahun Pemindahan Administrasi Papua ke Indonesia,” ujar laporan Papuan Behind Bars, Sabtu (1/6/2013).
Menurut laporan tersebut, telah terjadi penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat keamanan berkenaan dengan aktivitas dalam peringatan 1 Mei 2013.
“Sebanyak 3 orang aktivis meninggal dunia di Sorong, 36 orang ditangkap, dan 30 orang diantaranya masih ditahan dan diduga mengalami penyiksaan di Timika dan Jayapura,” kata laporan tersebut.
Papua Behind Bars juga mengatakan, hampir sebagian besar Tapol Papua menolak rencana pemberitaa Grasi yang diberikan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, termasuk tawaran diberikannya Amnesty dari pemerintah Indonesia melalui Kementerian Hukum dan HAM RI.
“Dengan ini, kami tawanan politik yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan, pertama, menolak pemberiaan grasi atau amnesty oleh Presiden Republik Indonesia, kedua, kami tidak butuh dibebaskan dari penjara, tetapi butuh dan tuntut bebaskan bangsa Papua dari penjajahan Negara colonial Republik Indonesia,” tulis pernyataan para Tapol, yang dikirim ke redaksi suarapapua.com, 25 Mei 2013 lalu.
Para Tapol, melalui Filep Karma, juga menolak penggunaan istilah Tahanan Politik maupun Narapidana Politik, namun lebih memilih menggunakan istilah Tawanan Politik Papua.
“Kalau Napol, kesannya kami pelaku kekerasan atau melakukan tindak kriminal sehingga dipenjarakan, kami menolak istilah Napol,” kata Karma, kepada wartawan suarapapua.com, beberapa waktu lalu.
OKTOVIANUS POGAU
http://suarapapua.com/
No comments:
Post a Comment