Pater Vincent Suparman, SCJ. Foto: scjusa
"Harus bersatu dan bangkit menyuarakan segela macam tindakan tidak manusiawi yang sedang dialami oleh umatnya di tanah Papua."
"Selama 10 tahun melayani di pedalam Papua, saya melihat masyarakat di sana, selain hidup menderita secara ekonomi, juga masih hidup di bawah kekerasan dan tekanan militer Indonesia. Masa depan Papua tidak pasti, orang Papua mau ibadah dilarang, tulis buku soal Papua dilarang, rekam lagu Papua dilarang dan mau demo juga dilarang. Semua kegiatan kegiatan itu dianggap makar dan diadili dengan hukuman yang tidak adil," kata Pater.
Lanjut Pater, orang Papua sudah banyak yang korban, belum lagi penjajahan dan pembunuhan sedang terjadi di tanah Papua. Maka, kata dia, orang Papua harus bersatu dan berjuang untuk hidup damai di negerinya sendiri.
"Saya melihat, sejumlah persoalan yang ada di tanah Papua itu akarnya masalahnya adalah sejarah penggabungnya Papua ke Indonesia," ujar Pater yang kini melayani salah satu gereja di Fort Thompson, Amerika Serikat ini.
Lanjut Pater, pelanggaran HAM di Papua terjadi akibat sejarah Papua. Orang Papua klaim sejarah Papua belum final karena penentuan pendapat rakyat (Pepera) 1969 langgar hukum internasional. Sementara Indonesia klaim sejarah Papua sudah final melalui Pepera.
Solusinya menurut dia adalah melalui suatu dialog bermartabat yang dimediasi oleh pihak ke tiga yang netral seperti yang di dorong oleh Pater Neles Tebay melalui Jaringan Damai Papua.
"Saya pikir suara dari rakyat Papua menjadi modal para Uskup dan Vatikan untuk mendukung," tutur Pater Vinsent dari Amerikan Serikat.
Pater tekankan, semua orang Papua harus sayangilah masa depan orang Papua sendiri. "Jangan hanya terima kenyataan buruk terus, harus ada sikap perlawanan menentang segala bentuk penjajahan. Hidupkan kembali semangat hidup dan kebangkitan era 1961/1962 yang telah dipadamkan itu," tuturnya. (MS)
Sumber: http://majalahselangkah.com
No comments:
Post a Comment