Sejarah Kemerdekaan dan Dinamika Politik Penjajahan di Papua Barat (Sebuah Pendidikan Politik Untuk Menjadi Mahasiswa Pejuang)
A. Pengantar
UNTUTAN rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari neo-kolonialisme
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan neo-kapitalisme Negara
Dunia Pertama kini sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat.
Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi
di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di
Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di
Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik
menguasai wilayah Papua Barat dan Negara Dunia Barat yang secara real
ekonomi yang menguasai Papua Barat “keras kepala” untuk tidak
mendengarkan tuntutan kemerdekaan tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua
Barat dianggap sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak
sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan beberapa cap konyol seperti
separatis, makar, anti pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya.
Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi Indonesia dan Negara
Dunia Pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat praktek
penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah
(Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan
pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa
jenis kejahatan lainnya.
Walaupun demikian, rakyat Papua Barat yang berpegang teguh pada
keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan”
dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan
tuntutan utama “Papua Barat Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat dari
beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan. Salah satu
contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga keamanan PT.
Freeport-Rio Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB)
dibawah pimpinan Gen. TPN-PB Goliath Tabun beberapa waktu lalu, 43
orang Papua mencari suaka politik ke Australia, aksi mahasiswa Papua
Barat dimana-mana dengan tuntutan peninjauan kembali status politik
Papua Barat, penarikan militer dari Papua Barat, tutup Freeport dan
lainnya. Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar
negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang
dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang didukung oleh berbagai
Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua
asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi diperjuangkan
juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua Barat “keras
kepala” untuk minta merdeka? Mengapa Indonesia dan Negara Dunia Pertama
juga “keras kepala” untuk tetap mempertahankan wilayah Papua Barat
sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan dan akar masalah. Untuk
melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua Barat harus
dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi
atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan
pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai bagian dari
rakyat Papua Barat. Hal itu akan menjawab dua buah pertanyaan. Pertama:
mengapa rakyat Papua Barat menuntut merdeka? Kedua: apakah mahasiswa
Papua Barat harus berjuang untuk menuntut merdeka?
Untuk menemukan “akar masalah” Papua Barat yang sesungguhnya, maka
dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Papua Barat dan
dinamika politik penjajahan di Papua Barat. Kemudian akan dilanjutkan
dengan sikap mahasiswa yang seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan
Papua Barat.
B. Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat
idak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah.
Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang
harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara
obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang
terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam
kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua
Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup
Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua
Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat
oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam
kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era
Reformasi Indonesia).
1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka
mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari
kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih
dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara
demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat
secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih
memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani
oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh
pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat
dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah
ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras
Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya,
entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali
tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa
silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan
karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan
Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu
pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal,
bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api
kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah
bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan
Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua
tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa
Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan
Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa
Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang
mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua
Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang
bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia.
Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama
sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif,
sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai
bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di
Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua
(meng-Indonesia-kan orang Papua).
2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun,
sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda
selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan
jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus
secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan
kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua
Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas
kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan
otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan.
Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang
berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),
Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam
babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi
perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau
dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu
Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama
dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka
sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia,
karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda
di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong
Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan
tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak
pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda
tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu
bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus
1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan
Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara
wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam,
tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa
“…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa
Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan
bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta
dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam
proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia
Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan
Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya
Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya
dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia)
Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya
adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk
dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah
Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan
direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14
Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah
Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh
pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956
tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan
Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian
Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap
menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa
politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a. Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda
pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri
terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa
pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan
pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut
tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
b. Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda
tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo
wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu
setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan
dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan
Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat
(Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta,
Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu
dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
c. Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang
dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah
panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni
Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut,
masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15
April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara
ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia
atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan
masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations
Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
d. Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak
tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia
Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka
selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang
diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama
mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
3. Sejarah Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan
wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat
untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah
sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan
mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan
Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang
terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan
Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini
adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih),
Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze
(Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma
(Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian
wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili
Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan
berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat
ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi
dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan
Manifesto Politik yang isinya:
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak
jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah
Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera
Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus
“Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan
di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”
dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi
kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia.
Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de
facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari,
karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri
Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima
Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke
wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat
dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam
fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi
Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi
Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of
Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase
eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak
orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat
untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke
wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh
Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua
Barat. Keempat klaim itu adalah:
1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh
sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan
Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari
daerah “Indonesia Bagian Timur”.
3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat
di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni
untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang
Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh
Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa
pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng
Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal
ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede
politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.
1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh
kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389).
Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah
Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada
mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim
bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke
pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera
tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat
digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan
definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari
Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan
Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi
prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia,
secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana,
bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan
14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas
sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.
Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam
pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor;
semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano,
Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah
kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama
meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia
sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di
sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan
Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk
dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa
Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
2. Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan
VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa
kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan
daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian
Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu,
Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah
kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan
Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan
secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun
1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua
Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak
perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur
Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat
betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate
dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh
kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura
dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung)
akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat.
Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore
dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada
bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka
untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua
Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang
benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat
berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu
lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di
kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua
Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi,
yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung
barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore.
Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran
kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah
Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana
pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah
teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk
mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris
ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya
merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki
tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah)
terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi
(hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal
Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J.
Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut
bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau
penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan
hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan
Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan
atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan
Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara
nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan
membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi
(zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari
dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah
pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah
Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari
Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore
mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin?
Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum
merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur,
Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos.
Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya
kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua
Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas
dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda
dulu, merupakan imajinasi.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti
memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah
Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore.
3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari
Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia
Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana
(pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh
Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam
Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah
teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk
Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama
merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat
diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan
kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan
Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port
Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai
Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun
waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad
sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus
1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat
merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda
memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan
pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak
(untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya
dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan
teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua
Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti
memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah
Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.
4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni
Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak
bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan
jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh
dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat
dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah
kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua
Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah
Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno
diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun
1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung
Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk
membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno
di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di
Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah
dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum
PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian
New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice”
(Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan
oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat
Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara
Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk
PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok
dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai
berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang
tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu
membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam
prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary
Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di
Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya
pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah
besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi
manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The
eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to
participate in the act of self determination to be carried out in
accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan
nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan
wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York
Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah
oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan
perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya
175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan
oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di
luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak
diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan
sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh
pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan
Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan
kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi
surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota
Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum
MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian
itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota
itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus
berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota
yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang
DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa
PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula
kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga
keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke
bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat)
menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka
pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat.
Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua
ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika
Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan
Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia,
menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan
di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat
dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah
sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan
dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan
dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969
dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan
pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan
PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan
berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan Pepera
Tanggal Kabupaten Anggota DEMUS Penduduk
14 Juli 1969 Merauke 175 144.171
16 Juli 1969 Jayawijaya 175 165.000
19 Juli 1969 Paniai 175 156.000
23 Juli 1969 Fakfak 75 43.187
26 Juli 1969 Sorong 110 75.474
29 Juli 1969 Manokwari 75 89.875
31 Juli 1969 Teluk Cenderawasih 130 83.000
02 Agustus 1969 Jayapura 110 81.246
J u m l a h 1.025 809.337
Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No Unsur Jumlah Wakil/Utusan
1 Kepala Suku/Adat 400 orang
2 Daerah (Gereja/Alim Ulama) 360 orang
3 Orpol/Ormas 265 orang
J u m l a h 1.025 orang
Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat
No Kabupaten Memberikan Pendapat Jumlah Utusan Sakit
1 Merauke 20 175 1
2 Jayawijaya 18 175 1
3 Paniai 28 175 -
4 Fakfak 17 75 -
5 Sorong 16 110 -
6 Manokwari 26 75 -
7 Teluk Cenderawasih 24 130 1
8 Jayapura 26 110 1
J u m l a h 175 1.025 4
6. Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat
yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan
Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan
empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari
kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi
Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini
diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat
wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) lewat perjuangan
diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten
Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas)
Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat
sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat.
Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden
Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan
Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon
Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan
Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL
Republik Papua Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong
sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini
untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971,
tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka
(de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa
merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka
di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi Negara Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu
melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New
Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota
Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka
sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki
persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New
Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik
Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di
Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi
Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah
Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975
kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di
rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua
tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup,
diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977,
kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan
“maker”.
c. Gelombang Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu”
yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya,
yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara
waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada
tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Papua Barat,
Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di
pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap
sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke
Vanimo, Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman
Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Pembunuhan ini berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk
melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan
mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu
tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang
budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum
“ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November 1983, Arnold
ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan
sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di
lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk
diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di
hutan dan di luar negeri.
Arnol dibunuh karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis
OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti
asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan
Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen,
Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet
Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. Selain itu,
Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang
dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka
lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akibat kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka
terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea.
Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp
pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black Water dan
Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR
(United Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.
d. Proklamasi Melanesia Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan
Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk
melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan
Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas
(B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia
dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun
1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai
karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan
diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas
mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat
juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang
penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah
suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia
yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi
Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota
Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada
juga aksi-aksi perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya
yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya
terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai
negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang
dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya. Sementara
secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos
Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya
sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan
kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari,
pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas
umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu
dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa
untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi
korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang
mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai
oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan
resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh
pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights
Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History
of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King
dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney
Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset
tentang Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua?
The Role of Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of
the Papua People”.
Data Korban pelanggaran HAM
No Waktu/Tempat Jenis Pelangaran HAM Jumlah
1 1968-1998:
Kabupaten Paniai Meninggal
Hilang
Diperkosa 614 orang
13 orang
94 orang
2 1969-1972 dan 1998:
Kabupaten Biak Meninggal
Hilang
Dianiaya
Ditahan 102 orang
3 orang
37 orang
150 orang
3 1977: Jayawijaya (Perang 77):
1. Kec. Kelila
2. Kec. Asologaima
3. Kec. Wosi
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
201 orang
126 orang
148 orang
4 1996-1998: Jayawijaya
Meninggal
Hilang
Diperkosa
Dianiaya
Dibakar (materi):
- Gereja
- Kampung
- Rumah 137 orang
2 orang
10 orang
3 orang
13 buah
13 buah
195 buah
5 1965-1999:
Kabupaten Sorong Meninggal
Hilang
Diperkosa 68 orang
5 orang
7 orang
Sumber: Elsham Papua Barat, April 2000
7. Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja” Soeharto dari kursi kekuasaanya,
lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu terjadi sejak tahun 1998,
dan sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia.
Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat
untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut ini
beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:
1. Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998,
dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut menuntut
pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala
pelanggaran HAM di Papua Barat.
2. Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi
Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika
Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J. Habibie diangkat
menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Roberth F.
Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat
Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi
sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik
dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM
serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua
daerah”.
3. Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka
dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah aksi-aksi politik yang
berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua
Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang
Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a. Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b. Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c. Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d. Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e. Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2 Oktober 1998
f. Aski pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa kota di Papua
seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g. Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah komando Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi demosntrasi mahasiswa di Bali
dan Sulawesi.
4. Pendirian FORERI
Dengan melihat perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat
Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda
dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya
(FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja Jayapura.
Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi yang berkembang di
masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau kemungkinan solusi
lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam masalah
kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia,
masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan
beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai
Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa
sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk
Tim Pencari Fakta. Pada tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu
dengan para pendiri FORERI di hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan
laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan
untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog Internasional mengenai masalah
Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai memaparkan penderitaan rakyat
Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi 1 Agustus 1999
Dalam usaha untuk mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat
yang semakin marak di Papua Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th.
Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini
diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan penyampaian
aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a. Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua Merdeka”.
b. Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua.
c. Perlu dilakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d. Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari segala aktivitas politik
dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah Putih” yang
disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin Gerakan
Papua Merdeka” ke depan.
7. Tim Seratus (T-100 )
Dalam pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang
dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999,
seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat dengan tegas menyampaikan
keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat dari kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi
pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a. Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membentuk
negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar dengan
bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan
yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah
dapat dibangun tanah dan bangsa Papua.
b. Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah pengawasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret 1999.
c. Sebagai tindak lanjut politis adalah segera diadakan perundingan
antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua Barat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d. Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum 1999.
8. Musyawarah Besar Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di
Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis
untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk
menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua, Mubes juga
mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda penting sebagai pilar-pilar
(tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda itu antara lain
tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan Konsolidasi
Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini adalah
membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang
terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9. Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di
Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari
Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat
Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu
dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000
peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
a. Presidium Dewan Papua 31 orang.
b. Panel Dewan Papua 400 orang.
c. Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d. Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e. Pengamat 50 orang
f. Peninjau Khusus 30 orang
g. Pers-Jurnalis 100 orang
h. Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar
Rakyat Papua dalam empat bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial
(Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang
Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan sebuah Resolusi
Kongres Papua 2000 yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di
duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York
Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan
kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM,
mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat
sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal,
seperti: “memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua Barat,
memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan usaha dana perjuangan,
Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan kepada Presidium
Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada 1 Desember
2000.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000
adalah: Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
10. Setelah Kongres Papua 2000 perjuangan Papua Barat untuk merdeka
mulai menampakkan hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo Eluway
perjuangan mengalami kemunduran. Hal itu bertahan hingga sekarang. Namun
perlu diketahui bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Papua kini sedang
mengalami kemajuan yang cukup berarti, terutama atas aksi kaum muda, TPN
dan OPM serta beberapa organisasi perjuangan yang walau susah bersatu
namun cukup mendatangkan hasil bagi kemerdekaan Papua Barat dikemudian
hari.
C. Jenis dan Sikap Mahasiswa Papua
etelah mengetahui memahami perjalanan panjang aksi penjajahan
nation-state lain atas wilayah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan
Papua Barat dalam menghadapi penjajahan itu, maka mahasiswa dihadapkan
kepada tiga pilihan keberpihakan secara umum. Pertama, memihak kepada
penjajah. Kedua, memihak rakyat Papua Barat. Ketiga, tidak memihak
apa-apa dan siapa-siapa (netral/tidak tahu apa-apa).
Untuk mengambil sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi
diri kita masing-masing mengenai “dimana” letak kita sebagai mahasiswa
selama ini dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita
akan menentukan sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Untuk itu, maka berikut ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat dan sikap yang harus diambil ke
depan.
1. Jenis Mahasiswa Papua Barat
Secara umum mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis
mahasiswa dalam memandang dan menggapai perjuangan kemerdekaan Rakyat
Papua Barat untuk merdeka lepas dari NKRI dan pendukungnya (terutama
Negara Dunia Pertama). Walaupun sama-sama menyandang titel “mahasiswa”
dan walupun sama-sama merasa diri sebagai orang Papua, tetapi mempunyai
perbedaan yang cukup tajam antara satu sama lain. Keenam jenis mahasiswa
Papua Barat itu adalah:
a. Jenis Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa Cari Makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut
mereka. Mereka ini mempunyai banyak urusan dengan negara Indonesia untuk
mendatangkan keuntungan bagi mereka, kebanyakan dari mereka adalah
anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di
negara Indonesia, atau mempunyai perusahan, LSM dan lainnya. Kebanyakan
dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus Papua,
Pemekaran Propinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “lahan” untuk mencari
makan.
b. Jenis Mahasiswa Malas Tahu
Jenis mahasiswa Malas Tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat
merdeka mereka terima, kalau tidak merdeka juga mereka tidak
mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu
tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau kelompok yang
mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten
mempengaruhinya, kereka bisa ikut. Sebaliknya kalau kelompok Papua
Merdeka yang mempengaruhinya mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh
hati, hanya sekedar saja.
c. Jenis Mahasiswa Ikut Ramai (Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka
teriak Merdeka atau Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan
semangat yang membara, malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua
Barat Merdeka. Tetapi kalau ada Program Otonomi Khusus dan Pemekaran
Propinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan permohonan bantuan dalam bentuk
apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah NKRI dengan semangat
yang membara pula. Kelompok ini muncul dengan sikap seperti itu karena
kurangnya pendidikan politik.
d. Jenis Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang
selalu menunggu dukungan dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga
untuk mendengar berapa orang non-Papua yang mendukung kemerdekaan Papua
Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa negara
yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya. Jika ada dukungan
mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah bibir,
tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam.
Kelompok ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan
kemerdekaan Papua Barat kepada pihak lain di luar diri mereka.
e. Jenis Mahasiswa Nekad (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa Nekad (membabi-buta) adalah mereka yang tidak perduli
dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka
dengan cara apa saja. Mereka cenderung membenci orang Jawa, orang Islam,
orang barat dan lainnya yang merugikan hidup mereka atau mengorbankan
perjuangan mereka. Perjuangan dengan jalan membabi-buta dan membenci
orang lain sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain,
karena kecenderugan mereka bukan untuk Papua Barat merdeka, tetapi
karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan
kemerdekaan Papua Barat.
f. Jenis Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan
memahami “masalah Papua Barat”. Mereka matang dalam pendidikan politik,
peduli dengan penderitaan rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan
rakyat mereka sedang dijajah. Mereka ini selalu memperjuangkan
kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja dengan jalan yang
efektif dan efisian dengan pemahaman dan pengetahuan yang matang tentang
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara nyata
terlibat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa
dan rakyatnya, yaitu “Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat
sulit untuk dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci
oleh musuh perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen
dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
2. Sikap Mahasiswa Papua
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat
adalah orang Papua, berkebangsaan Papua, mempunyai ras Negroid dari
rumpun Melanesia dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting.
Ini adalah sebuah kenyataan. Mahasiswa Papua Barat juga adalah orang
yang mempunyai wilayah sebagai tempat tinggalnya dan hidup di wailayah
itu. Ini juga kenyataan.
Walaupun demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang
Papua. Merak tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan
sanak-saudarnya sendiri sedang terjajah, dan lebih gawat adalah mereka
sendiri sering menggadaikan diri sambil menyangkal bahwa mereka bukan
orang Papua. Ini sesuatu yang ironis.
Untuk itu, agar dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami
dinamika kehidupan bangsanya dan rakyatnya, maka mahasiswa Papua Barat
harus mempunyai sikap yang tegas dalam menanggapi dinamika kehidupan
yang terjadi di Papua Barat tanpa harus menjadi orang munafik. Untuk
sampai kepada pengambilan sikap secara tegas dan konsisten dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus
dilakukan, yaitu:
a. Sadar Diri
Pertama-tama harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita
adalah orang Papua. Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain.
Sadarlah bahwa kita mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dalam segala
hal. Setelah itu ambillah kesimpulan bahwa kita mempunyai harga diri,
kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara merdeka, dan lainnya
yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita mempunyai harga diri
sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai kedudukan yang sama
dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini.
b. Melihat Kondisi Obyektif
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara
berpikir secara obyektif, yaitu memandang sebuah masalah secara nyata
tanpa memihak apa-apa dan siapa-siapa. Karena itu lihatlah masalah Papua
Barat dari sisi obyektifitasnya, lihat pula penjajahan Papua Barat oleh
nation-state lain secara obyektif pula. Disana kita bisa menemukan
letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya letak kebenaran masalah Papua
Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya.
c. Belajar
Selain harus berpikir dan bertindak secara obyektif, kita juga
diharapkan untuk banyak belajar. Belajar tidak harus di kampus
(pendidikan formal), tetapi belajarlah di luar kampus, belajarlah untuk
memahami realita sosial, belajarlah untuk mendengarkan ratap tangis
rakyat Papua Barat, dan belajarlah untuk memetahkan sebuah persoalan
secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus misalnya
adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber daya
manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Di sanalah kita bisa
mengambil banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke
depan.
d. Berjuang
Menjadi pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak
sulit. Cukupkanlah kita mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa
kita mempunyai cita-cita kebenaran di masa depan, bahwa Papua Barat
harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan strategi perjuangan kita
bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu cara-cara tersebut. Untuk
memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan cara kita
masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita masing-masing.
Sehingga dengan cara masing-masing, sedikit demi sedikit, dan diri kita
sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak cara
yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu ke sebuah
alam yang nyata, yaitu di atas “tanah tumpah darah Papua Barat yang kita
cintai.”
D. Penutup
uatu ketika, pertengahan bulan Juli 2005, disebuah diskusi aktivis
kemerdekaan Papua Barat di Jakarta, waktu itu saya diminta untuk menjadi
pembicara. Saya ditanya oleh seseorang begini: kira-kira Papua bisa
merdeka atau tidak? Kalau bisa merdeka, kira-kira kapan? Saya cukup
terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Maklum, saya bukan seorang
peramal yang bisa meramalkan tentang merdeka tidaknya Papua Barat dan
waktu merdekanya Papua Barat. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus
memberikan jawaban kepada orang tersebut.
Sebagai jawabannya saya menanyakan kembali kepada orang tersebut: kalau
orang Papua berjuang, kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak?
Kalau perjuangan itu dilakukan secara baik, benar dan sungguh-sungguh
kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Dia cukup bingung
mendengar pertanyaan saya. Akhirnya, saya mengatakan bahwa soal Papua
Barat merdeka atau tidak itu urusan nanti, persoalan kapan merdekanya
juga urusan nanti, yang menjadi masalah sekarang adalah orang Papua
harus berjuang untuk merdeka, karena jika waktunya tiba, maka kita akan
menikmati hasil perjuangan itu. Bagi saya kemerdekaan Papua Barat hanya
soal waktu, karena waktu tidak pernah berdusta kepada siapapun juga!
Demikian dan salam “MERDEKA”.
Sejarah Kemerdekaan dan Dinamika Politik Penjajahan di Papua Barat
(Sebuah Pendidikan Politik Untuk Menjadi Mahasiswa Pejuang)
A. Pengantar
UNTUTAN rakyat Papua Barat untuk merdeka lepas dari neo-kolonialisme
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan neo-kapitalisme Negara
Dunia Pertama kini sedang menggema di seantero wilayah Papua Barat.
Setelah sebelumnya tuntutan itu dilakukan secara gerilya dan diplomasi
di luar negeri (internasional), maka sejak bergulirnya Reformasi di
Indonesia (1998) tuntutan itu disampaikan secara terbuka, terutama di
Indonesia tanpa meninggalkan tuntutan dengan cara gerilya.
Sementara tuntutan itu bergulir, Indonesia yang secara real politik
menguasai wilayah Papua Barat dan Negara Dunia Barat yang secara real
ekonomi yang menguasai Papua Barat “keras kepala” untuk tidak
mendengarkan tuntutan kemerdekaan tersebut. Tuntutan kemerdekaan Papua
Barat dianggap sebagai sebuah upaya ilegal (melawan hukum atau tidak
sah) sehingga rakyat Papua Barat diberikan beberapa cap konyol seperti
separatis, makar, anti pembangunan, goblok, pemberontak dan lainnya.
Semua cap ini menjadi “surat izin” yang resmi bagi Indonesia dan Negara
Dunia Pertama untuk tetap menanamkan hegemoninya lewat praktek
penjajahan seperti pemberian “paket” Otonomi Khusus, Pemekaran Wilayah
(Propinsi/Kabupaten), pembunuhan, pemerkosaan, penanggapan dan
pemenjaraan sewenang-wenang di luar jalur hukum, penyiksaan dan beberapa
jenis kejahatan lainnya.
Walaupun demikian, rakyat Papua Barat yang berpegang teguh pada
keyakinan politiknya tidak menyerah. Sebaliknya “api perjuangan”
dikobarkan terus-menerus untuk tetap melanjutkan aksi perlawanan dengan
tuntutan utama “Papua Barat Merdeka”. Tuntutan itu bisa dilihat dari
beberapa kejadian, di mana-mana dan di berbagai kalangan. Salah satu
contoh adalah pembunuhan tiga orang Brimob yang menjaga keamanan PT.
Freeport-Rio Tinto oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB)
dibawah pimpinan Gen. TPN-PB Goliath Tabun beberapa waktu lalu, 43
orang Papua mencari suaka politik ke Australia, aksi mahasiswa Papua
Barat dimana-mana dengan tuntutan peninjauan kembali status politik
Papua Barat, penarikan militer dari Papua Barat, tutup Freeport dan
lainnya. Perjuangan itu tidak hanya dilakukan di dalam negeri, di luar
negeri pun perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat sedang marak yang
dilakukan oleh para diplomat Papua Barat yang didukung oleh berbagai
Support Groups of West Papua Independence. Juga bukan hanya orang Papua
asli yang memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat, tetapi diperjuangkan
juga oleh orang non-Papua baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa rakyat Papua Barat “keras
kepala” untuk minta merdeka? Mengapa Indonesia dan Negara Dunia Pertama
juga “keras kepala” untuk tetap mempertahankan wilayah Papua Barat
sebagai bagian dari NKRI? Tentunya punya alasan dan akar masalah. Untuk
melihat alasan dan akar masalah, maka sejarah Papua Barat harus
dipaparkan dan dipahami secara benar, selanjutnya harus dicari solusi
atau upaya perjuangan yang harus dilakukan oleh rakyat Papua Barat dan
pendukungnya, tentu saja di dalamnya ada mahasiswa sebagai bagian dari
rakyat Papua Barat. Hal itu akan menjawab dua buah pertanyaan. Pertama:
mengapa rakyat Papua Barat menuntut merdeka? Kedua: apakah mahasiswa
Papua Barat harus berjuang untuk menuntut merdeka?
Untuk menemukan “akar masalah” Papua Barat yang sesungguhnya, maka
dibawah ini dipaparkan sekilas sejarah kemerdekaan Papua Barat dan
dinamika politik penjajahan di Papua Barat. Kemudian akan dilanjutkan
dengan sikap mahasiswa yang seharusnya dalam perjuangan kemerdekaan
Papua Barat.
B. Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat
idak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah.
Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang
harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara
obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang
terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam
kekuasaan Indonesia.
Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua
Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan. Pertama, sejarah hidup
Indonesia dan Papua Barat. Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua
Barat dalam mengusir penjajah. Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat
oleh Indonesia. Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat. Kelima, proses
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam
kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era
Reformasi Indonesia).
1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat
Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka
mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari
kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih
dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal
leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara
demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat
secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan
tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih
memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani
oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay.
Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh
pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat
dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Bangsa Papua adalah
ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras
Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya,
entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali
tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa
silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan
karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan
Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu
pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal,
bahwa:
Dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api
kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah
bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan
Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua
tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa
Indonesia. …Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan
Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa
Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang
mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.”
Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua
Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang
bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia.
Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama
sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif,
sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai
bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di
Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua
(meng-Indonesia-kan orang Papua).
2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat
Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun,
sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda
selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan
jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus
secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan
kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina. Kekuasaan Belanda di Papua
Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas
kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke.
Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan
otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan.
Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang
berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),
Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam
babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi
perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau
dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu
Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama
dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka
sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia,
karena Belanda adalah musuhnya masing-masing.
Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda
Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda
di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong
Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan
tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak
pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda
tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu
bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.
Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus
1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan
Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara
wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam,
tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa
“…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa
Papua menentukan nasibnya sendiri…”. Sementara Soekarno mengemukakan
bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan
kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta
dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945.
Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam
proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia
Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan
Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat). Karena itu pernyataan berdirinya
Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya
dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.
Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia)
Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya
adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk
dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah
Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan
direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14
Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah
Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat
dari tangan Belanda. Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh
pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956
tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai
ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan
Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian
Propinsi Irian Barat Perjuangan.
Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap
menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda. Beberapa persitiwa
politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:
a. Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda
pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri
terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa
pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan
pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut
tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.
b. Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda
tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo
wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu
setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia
Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan
dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan
Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat
(Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta,
Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu
dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”
c. Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang
dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah
panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni
Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut,
masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15
April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara
ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia
atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing
pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih
dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan
masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations
Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.
d. Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak
tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia
Afrika.
Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka
selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang
diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama
mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.
3. Sejarah Kemerdekaan Papua Barat
Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan
wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat
untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan
negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah
sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan
mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan
Papua Barat.
Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang
terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan
Nieuw Guinea). Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini
adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih),
Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze
(Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma
(Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian
wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili
Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan
berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat
ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang
beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam
mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi
dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan
Manifesto Politik yang isinya:
1. Menetukan nama Negara : Papua Barat
2. Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua
3. Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora
4. Menentukan bahwa bendera Bintang Kejora akan dikibarkan pada 1 November 1961.
Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”.
Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak
jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah
Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera
Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus
“Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan
di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua”
dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi
kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia.
Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de
facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia
Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari,
karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri
Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:
1. Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.
Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima
Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando
Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke
wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda.
Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat
dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam
fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi
Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi
Lumbung, Operasi Jatayu. Operasi lewat laut adalah Operasi Show of
Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase
eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus).
Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak
orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.
Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat
untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke
wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh
Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua
Barat. Keempat klaim itu adalah:
1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, oleh
sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan
Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari
daerah “Indonesia Bagian Timur”.
3. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat
di Asia Tenggara. Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni
untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang
Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh
Belanda. Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa
pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng
Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal
ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede
politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.
Apakah keempat klaim – sebagai alasan mengusai Papua Barat – ini benar? Mari kita buktikan.
1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh
kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389).
Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah
Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada
mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim
bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke
pulau Pas (Chili).
Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera
tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat
digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan
definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari
Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan
Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi
prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat,
khususnya sejarah tertulis.
Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia,
secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana,
bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan
14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas
sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.
Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam
pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor;
semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano,
Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah
kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama
meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia
sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di
sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan
Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk
dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa
Soekarno telah memanipulasikan sejarah.
2. Klaim atas Kekuasaan Tidore
Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan
VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa
kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan
daerah kesultanan Tidore.
Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian
Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu,
Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah
kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan
Tidore.
Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan
secara ilmiah? Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun
1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua
Barat. Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak
perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat.
Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur
Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat
betul-betul tidak kelihatan.
Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate
dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh
kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura
dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung)
akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore.
Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat.
Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore
dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya.
Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada
bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka
untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua
Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang
benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat
berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu
lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.
Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di
kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua
Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi,
yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung
barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore.
Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran
kekuasaan asing di Papua Barat.
Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah
Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana
pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah
teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk
mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris
ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya
merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki
tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah)
terhadap kedaulatan kekuasaan
Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi
(hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal
Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J.
Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut
bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau
penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan
hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan
Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan
atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan
Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara
nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan
membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi
(zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari
dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak. Jadi, ketika itu daerah
pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore.
Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah
Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa:
Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari
Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore
mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin?
Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum
merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur,
Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos.
Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?... Saya
kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua
Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat. Atas
dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda
dulu, merupakan imajinasi.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti
memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah
Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore.
3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda
Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari
Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia
Belanda. Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana
(pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh
Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam
Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah
teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk
Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).
Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama
merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat
diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan
kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan
Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia,
yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan
Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port
Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai
Merauke (Nederland Nieuw Guinea).
Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua
Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun
waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad
sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962). Tanggal 24 Agustus
1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat
merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda
memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan
pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak
(untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya
dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan
teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua
Barat ke dalam PBB.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti
memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah
Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.
4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara.
Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni
Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak
bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan
jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh
dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat
dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah
kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia.
Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua
Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah
Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno
diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun
1961. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung
Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk
membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno
di dalam usaha menganeksasi Papua Barat.
Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di
Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah
dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum
PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian
New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice”
(Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan
oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat
Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.
5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969
Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara
Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal
Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk
PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962. Beberapa hal pokok
dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai
berikut:
1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang
tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu
membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam
prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary
Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di
Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya
pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah
besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi
manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The
eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to
participate in the act of self determination to be carried out in
accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan
nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan
wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York
Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah
oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan
perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya
175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan
oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di
luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak
diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu.
4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan
sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh
pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan
Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan
kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi
surat tersebut:
“Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota
Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum
MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian
itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota
itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus
berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota
yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang
DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa
PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara
‘tidak’ wajar.”
Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula
kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga
keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke
bupati-bupati yang lain.
Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat)
menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka
pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat.
Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua
ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika
Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan
Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia,
menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan
di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat
dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah
sengketa.
Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan
dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan
dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969
dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan
pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi). Kemenangan
PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.
Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan PEPERA, Jumlah wakil/utusan
berdasarkan unsur, dan jumlah wakil/utusan yang memberikan pendapat.
Jadwal Pelaksanaan Pepera
Tanggal Kabupaten Anggota DEMUS Penduduk
14 Juli 1969 Merauke 175 144.171
16 Juli 1969 Jayawijaya 175 165.000
19 Juli 1969 Paniai 175 156.000
23 Juli 1969 Fakfak 75 43.187
26 Juli 1969 Sorong 110 75.474
29 Juli 1969 Manokwari 75 89.875
31 Juli 1969 Teluk Cenderawasih 130 83.000
02 Agustus 1969 Jayapura 110 81.246
J u m l a h 1.025 809.337
Jumlah Wakil/Utusan Berdasarkan Unsur
No Unsur Jumlah Wakil/Utusan
1 Kepala Suku/Adat 400 orang
2 Daerah (Gereja/Alim Ulama) 360 orang
3 Orpol/Ormas 265 orang
J u m l a h 1.025 orang
Jumlah Wakil/Utusan yang Memberikan Pendapat
No Kabupaten Memberikan Pendapat Jumlah Utusan Sakit
1 Merauke 20 175 1
2 Jayawijaya 18 175 1
3 Paniai 28 175 -
4 Fakfak 17 75 -
5 Sorong 16 110 -
6 Manokwari 26 75 -
7 Teluk Cenderawasih 24 130 1
8 Jayapura 26 110 1
J u m l a h 175 1.025 4
6. Papua Barat dalam Kekuasaan Indonesia (Era Negara Orde Baru-NOB)
Banyak peristiwa politik dalam memperjuangan kemerdekaan Papua Barat
yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat terutama oleh OPM pasca Penentuan
Pendapat Rakyat 1969, tetapi secara umum di sini hanya akan dikemukakan
empat peristiwa penting dalam upaya untuk memerdekakan Papua Barat dari
kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
a. Proklamasi 1 Juli 1971
Setelah wilayah Papua Barat dimasukan secara sepihak lewat manipulasi
Penentuan Pendapat Rakyat oleh Indonesia pada tahun 1969, wilayah ini
diduduki layaknya sebuah wilayah jajahan. Indonesia mulai memperketat
wilayah ini untuk mematikan gerakan kemerdekaan Papua Barat yang
dilancarkan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) lewat perjuangan
diplomasi dan gerilya.
Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten
Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas)
Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat
sebagai “Mavik" “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat.
Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden
Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan
Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon
Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan
Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL
Republik Papua Barat.
Isi teks Proklamasi 1 Juli 1971 adalah:
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong
sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini
untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971,
tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka
(de facto dan de jure).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bahwa
merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka
di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
b. Imajinasi Negara Melanesia Barat
Tiga tahun sesudah proklamasi di “Markas Victoria”, imajinasi itu
melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua New
Guinea. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota
Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka
sebut “Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen”, yang isinya menghendaki
persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua New
Guinea) sampai ke Sorong, yang “100% merdeka di luar Republik
Indonesia”.
Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di
Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan “proklamasi
Sorong-Samarai” itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah
Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975
kedapatan “bunuh diri” di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di
rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua
tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup,
diajukan ke pengadilan negeri Jayapura. Pada tanggal 9 Maret 1977,
kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan
“maker”.
c. Gelombang Pengungsian dan Pembunuhan Arnold Clemens Ap
Pada tanggal 26 April 1984, pemerintah Indonesia melakukan “sesuatu”
yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya,
yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara
waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada
tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Papua Barat,
Arnold Clemens Ap, ditembak oleh Koppasanda (sekarang Kopassus) di
pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Arnold Ap
sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke
Vanimo, Papua New Guinea, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman
Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.
Pembunuhan ini berawal dari sebuah “tawaran” kepada Arnold dkk untuk
melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan
mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu
tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang
budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984. Sebelum
“ditawar” untuk melarikan diri, pada tanggal 30 November 1983, Arnold
ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan
sesudahnya, sekitar 20 orang Papua lain, yang umumnya bergerak di
lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk
diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di
hutan dan di luar negeri.
Arnol dibunuh karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis
OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti
asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan
Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen,
Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet
Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. Selain itu,
Indonesia merasa sangat khawatir dengan Group Musik Manbesak yang
dicurigai membangkitkan semangat nasionalisme Papua Barat untuk merdeka
lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akibat kemelut politik, terutama karena pembunuhan Arnol C. Ap maka
terjadi gelombang pengungsian secara besar-besaran ke Papua New Guinea.
Sebanyak 11.000 orang Papua dari Papua Barat ditampung di kamp-kamp
pengungsi Wabo dan Yako yang lebih dikenal dengan nama Black Water dan
Black Wara, dimana para pengungsi tersebut diurus oleh perwakilan UNHCR
(United Nations High Commision for Refugees) di Vanimo.
d. Proklamasi Melanesia Barat
Pada tanggal 14 Desember 1988, Dr. Thomas Wapai Wanggai memproklamasikan
Negara Melanesia Barat. Ia mengusung nama Negara Melanesia Barat untuk
melepaskan Papua Barat dari kekuasaan Indonesia. Dia Mendeklarasikan
Kemerdekaan Melanesia Barat dengan menaikan Bendera Bintang Empat Belas
(B-14) di Lapangan Mandala Port Numbay tahun 1988. Akibatnya dia
dipenjarakan di LP Cipinang Jakarta, tetapi dia meninggal dunia tahun
1996 karena sakit ketika menjalani hukumannya. Kematiannya dicurigai
karena diracuni. Akhirnya banyak pengikutnya yang hingga kini melarikan
diri ke luar negeri.
Ide Thomas Wapai Wanggai mengenai Negara Melanesia Barat ini tidak jelas
mengenai batas wilayah “Melanesia Barat” itu. Apakah Melanesia Barat
juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang
penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah
suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isu Solidaritas Melanesia
yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan. Yang jelas, proklamasi
Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota
Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya.
Selain empat peristiwa politik yang telah disebutkan di atas, masih ada
juga aksi-aksi perjuangan rutin baik secara diplomatik maupun gerilya
yang dilakukan oleh rakyat Papua Barat. Secara diplomatik misalnya
terjadi lobi dan pembukaan kantor-kantor perwakilan OPM di berbagai
negara, seperti di Swedia (1972), Senegal (1976), dan kampanye yang
dilakukan di Belanda, Yunani, Jepang, PNG dan negara lainnya. Sementara
secara gerilya misalnya terjadi penyerangan-penyerangan terhadap Pos
Militer (TNI/POLRI) oleh TPN-OPM, terjadi penyanderaan, dan lainnya
sepanjang kekuasaan Negara Indonesia era Orde Baru di Papua Barat.
Sebagai balasannya Indonesia melalui kekuatan militer lewat penerapan
kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) melakukan teror, intimidari,
pengejaran, pemenjarahan, pemerkosaan, pembunuhan, pembakaran fasilitas
umum dan kampung, dan aksi kejahatan militer yang lainnya. Selain itu
dilakukan Operasi Koteka pada tahun 1970-an, yang mana rakyat dipaksa
untuk mengenakan pakaian ala orang Indonesia yang terbuat dari kain.
Akibat Operasi Militer banyak rakyat Papua Barat yang telah menjadi
korban. Hal dapat dilihat dari laporan Amnesty International yang
mengemukakan bahwa telah terjadi 100 ribu rakyat Papua Barat dibantai
oleh militer Indonesia. Selain itu Universitas Yale mengeluarkan laporan
resmi bahwa telah terjadi Genosida di Papua Barat yang dilakukan oleh
pemerintah dan militer Indonesia yang berjudul “Indonesia Human Rights
Abuse in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History
of Indonesia Control.” Selain Universitas Yale, John Wing dan Peter King
dari Center for Peace and Conflict Studies di Universitas Sydney
Australia juga telah menerbitkan sebuah laporan sebagai hasil riset
tentang Genosida di Papua Barat yang berjudul “Genocide in West Papua?
The Role of Indonesian State Apparatus and a Current Needs Assessment of
the Papua People”.
Data Korban pelanggaran HAM
No Waktu/Tempat Jenis Pelangaran HAM Jumlah
1 1968-1998:
Kabupaten Paniai Meninggal
Hilang
Diperkosa 614 orang
13 orang
94 orang
2 1969-1972 dan 1998:
Kabupaten Biak Meninggal
Hilang
Dianiaya
Ditahan 102 orang
3 orang
37 orang
150 orang
3 1977: Jayawijaya (Perang 77):
1. Kec. Kelila
2. Kec. Asologaima
3. Kec. Wosi
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
Meninggal (tewas)
201 orang
126 orang
148 orang
4 1996-1998: Jayawijaya
Meninggal
Hilang
Diperkosa
Dianiaya
Dibakar (materi):
- Gereja
- Kampung
- Rumah 137 orang
2 orang
10 orang
3 orang
13 buah
13 buah
195 buah
5 1965-1999:
Kabupaten Sorong Meninggal
Hilang
Diperkosa 68 orang
5 orang
7 orang
Sumber: Elsham Papua Barat, April 2000
7. Kebangkitan Nasional Papua Barat (Era Reformasi Indonesia)
Bersamaan dengan tumbangnya “raja” Soeharto dari kursi kekuasaanya,
lahirnya masa Reformasi di Indonesia. hal itu terjadi sejak tahun 1998,
dan sekarang ini juga kita berada dalam masa Reformasi Indonesia.
Lahirnya Reformasi memberikan “angin segar” bagi rakyat Papua Barat
untuk memperjuangan kemerdekaan negaranya secara terbuka. Berikut ini
beberapa peristiwa politik (perjuangan) yang dilakukan oleh rakyat Papua
Barat dalam upaya untuk mendirikan Negara Papua Barat yang merdeka dan
berdaulat, yaitu:
1. Demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
Ada tiga peristiwa penting demonstrasi Pelanggaran HAM di Papua Barat
selama bulan Mei dan Juni 1998, yaitu tanggal 25 Mei 1998, 5 Juni 1998,
dan 11 Juni 1998. Ketiga demonstrasi tersebut menuntut
pertanggungjawaban TNI/POLRI dan Pemerintah Indonesia atas segala
pelanggaran HAM di Papua Barat.
2. Surat Kongres Amerika Serikat dan RFK Memorian
Pada tanggal 22 Mei 1998 (sehari sesudah B.J. Habibie diangkat menjadi
Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Kongres Amerika
Serikat, dan tanggal 27 Mei 1998 (seminggu setelah B.J. Habibie diangkat
menjadi Presiden Indonesia) Indonesia menerima surat dari Roberth F.
Kennedy. Salah satu poin yang menjadi perhatian dan dorongan bagi rakyat
Papua adalah butir keempat dari surat tersebut yang isinya berbunyi
sebagai berikut: “Memprakarsai dialog yang langsung dan beritikat baik
dengan masyarakat Timor Timur dan Irian Jaya menyangkut perlindungan HAM
serta memprakarsai jalan keluar yang adil mengenai status politik kedua
daerah”.
3. Aksi Pengibaran Bendera Papua
Semangat kebangkitan rakyat Papua Barat menuju Papua Baru yang merdeka
dan berdaulat semakin nyata dari sejumlah aksi-aksi politik yang
berkisar pada pengibaran Bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua
Barat dan luar Papua Barat. Beberapa aksi pengibaran Bendera Bintang
Kejora dan aksi demonstrasi adalah:
a. Pengibaran Bendera Papua di Jayapura, tanggal 1 Juli 1998
b. Pengibaran Bendera Papua di Biak, tanggal 2-6 Juli 1998
c. Pengibaran Bendera Papua di di Sorong, tanggal 2 -3 Juli 1998
d. Pengibaran Bendera Papua di Wamena, tanggal 7 Juli 1998
e. Pengibaran Bendera Papua di Manokwari, tanggal 2 Oktober 1998
f. Aski pengibaran Bendera Papua juga terjadi di beberapa kota di Papua
seperti Serui, Fak Fak, Timika, Nabire, Puncak Jaya dan Merauke.
g. Demonstrasi mahasiswa Papua dibawah komando Aliansi Mahasiswa Papua
(AMP) di Jakarta yang diikuti oleh aksi demosntrasi mahasiswa di Bali
dan Sulawesi.
4. Pendirian FORERI
Dengan melihat perkembangan aspirasi dan perjuangan “Papua Barat
Merdeka”, maka tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, tokoh pemuda
dan wakil mahasiswa membentuk Forum Rekonsiliasi Masyarakat Irian Jaya
(FORERI) pada tanggal 24 Juli 1998 di Kantor Elsham Kotaraja Jayapura.
Forum ini dibentuk untuk menjembatani semua aspirasi yang berkembang di
masyarakat untuk disampaikan ke Pemerintah Pusat atau kemungkinan solusi
lain dalam penyelesaian masalah Papua Barat, terutama dalam masalah
kemerdekaan Papua Barat, tawaran otonomi oleh pemerintah Indonesia,
masalah pelanggaran HAM, dialog nasional, pembebasan tahanan politik dan
beberapa masalah aktual lainnya. Drs. Willy Mandowen diangkat sebagai
Sekretaris Eksekutif yang dibantu oleh Drs. Martinus Patay dan beberapa
sukarelawan dari mahasiswa dalam menjalankan tugasnya.
5. Tim Pencari Fakta DPR RI
Mengkristalnya tuntutan kemerdekaan Papua Barat memaksa DPR RI membentuk
Tim Pencari Fakta. Pada tanggal 27 Juli 1998 Tim Pencari Fakta bertemu
dengan para pendiri FORERI di hotel Matoa Jayapura. FORERI menyerahkan
laporan pelanggaran HAM di Papua, kemudian Theys Hiyo Eluay mengusulkan
untuk diadakan Dialog Nasional dan Dialog Internasional mengenai masalah
Papua Barat, sementara Dr. Benny Giyai memaparkan penderitaan rakyat
Papua selama 32 tahun dan akar masalah tuntutan kemerdekaan Papua Barat.
6. Deklarasi 1 Agustus 1999
Dalam usaha untuk mengakomodir semua gerakan kebangkitan Papua Barat
yang semakin marak di Papua Barat, maka Theys Hiyo Eluway dan Yorrys Th.
Raweyai menggelar pertemuan di Gedung BPD Jayapura. Pertemuan ini
diawali dengan dengan doa kemudian dilanjutkan dengan penyampaian
aspirasi oleh semua komponen yang hadir dalam pertemuan tersebut.
Beberapa kesepakatan penting yang diambil dalam pertemuan ini adalah:
a. Menyamakan persepsi politik, yakni rakyat ingin “Papua Merdeka”.
b. Diusulkan nama Irian Jaya diganti dengan nama Papua.
c. Perlu dilakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua Barat dengan Presiden B.J. Habibie.
d. Theys Hiyo Eluay mengundurkan diri dari segala aktivitas politik
dalam NKRI dan menanggalkan segala atribut “Merah Putih” yang
disandangnya sejak 1969 dan menyatakan diri sebagai “Pemimpin Gerakan
Papua Merdeka” ke depan.
7. Tim Seratus (T-100 )
Dalam pertemuan Tim Seratus (T-100) dengan Presiden B.J. Habibie yang
dilaksanakan di Istana Negara Jakarta pada tanggal 26 Februari 1999,
seratus orang perwakilan rakyat Papua Barat dengan tegas menyampaikan
keinginannya untuk merdeka sebagai negara berdaulat dari kekuasaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari isi
pernyataan politik bangsa Papua bahwa:
a. Kami keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk membentuk
negara yang merdeka dan berdaulat penuh dan berdiri sejajajar dengan
bangsa-bangsa lain. Kemerdekaan ini menjamin nilai-nilai kemanusiaan
yang selama ini diinjak-injak oleh bangsa Indonesia disamping
pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Di dalam kemerdekaan itulah
dapat dibangun tanah dan bangsa Papua.
b. Segera dibentuk pemerintahan peralihan dibawah pengawasan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selambat-lambatnya bulan Maret 1999.
c. Sebagai tindak lanjut politis adalah segera diadakan perundingan
antara Pemerintah Republik Indonesia, bangsa Papua Barat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
d. Kami bangsa Papua Barat tidak ikut dalam Pemilihan Umum 1999.
8. Musyawarah Besar Papua 2000
Pada tanggal 23-26 Februari 2000 dilakukan Musyawarah Besar (Mubes) di
Sentani, Jayapura. Mubes ini dilakukan sebagai sebuah langkah strategis
untuk mempersiapkan Kongres Papua 2000. Mubes ini dilaksanakan untuk
menguji kematangan demokrasi rakyat Papua.
Selain untuk menguji kematangan demokrasi rakyat Papua, Mubes juga
mempersiapkan dan merumuskan agenda-agenda penting sebagai pilar-pilar
(tema-teman) perjuangan Papua Barat. Agenda-agenda itu antara lain
tentang Agenda Pelurusan sejarah, Agenda Politik, dan Konsolidasi
Komponen Perjuangan Papua. Yang paling penting dari Mubes ini adalah
membuat kendaraan politik, yaitu dengan membentuk Dewan Papua yang
terdiri dari Panel dan Presidium Dewan Papua.
9. Kongres Rakyat Papua II (2000)
Kongres Papua II (2000) dilaksanakan pada tanggal 29 Mei-4 Juni 2000 di
Gedung Olahraga Cenderawasih (GOR) Jayapura, dengan tema kongres: Mari
Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat, sedangkan subtema kongres: Rakyat
Bangsa Papua Bertekat Menegakan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia
Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran dan Keadilan Menuju Papua Baru.
Kongres ini dihadiri oleh 3000 peserta resmi yang diundang, selain itu
dihadiri oleh ribuan rakyat Papua Barat yang tidak diundang. 3000
peserta resmi itu terdiri dari beberapa kategori, yaitu:
a. Presidium Dewan Papua 31 orang.
b. Panel Dewan Papua 400 orang.
c. Utusan Langsung Masyarakat Papua 1800 orang
d. Utusan Pemerintah dan DPR/DPRD 150 orang
e. Pengamat 50 orang
f. Peninjau Khusus 30 orang
g. Pers-Jurnalis 100 orang
h. Undangan Khusus 100 orang.
Kongres ini telah berhasil melahirkan sebuah Manifesto Hak-hak Dasar
Rakyat Papua dalam empat bidang, yaitu Bidang Ekonomi, Bidang Sosial
(Pendidikan, Kesehatan, dan Kependudukan), Bidang Budaya, dan Bidang
Hak-hak Sipil dan Politik. Kemudian pula melahirkan sebuah Resolusi
Kongres Papua 2000 yang menegaskan kepada Indonesia dan bangsa-bangsa di
duniai: “mengakui kemerdekaan Papua 1 Desember 1961, menolak New York
Agreement 1962, menolak hasil PEPERA 1969, mendesak pengakuan
kemerdekaan Papua Barat, dan mendesak penuntasan pelanggaran HAM,
mengutuk Indonesia, Belanda, Amerika Serikat dan Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang memanipulasi dan melantarkan nasib bangsa Papua.”
Selanjutnya dalam Resolusi Kongres 2000 rakyat Papua memberikan mandat
sepenuhnya kepada Presidium Dewan Papua untuk melaksanakan beberapa hal,
seperti: “memperjuangkan pengakuan kemerdekaan Papua Barat,
memperjuangkan pelaksanaan Referendum, mengadakan usaha dana perjuangan,
Panel Kongres harus memberikan dukungan perjuangan kepada Presidium
Dewan Papua, dan mempertanggungjawabkan hasil perjuangan pada 1 Desember
2000.
Inti dari Manifesto Hak-hak Dasar Rakyat Papua dan Resolusi Kongres 2000
adalah: Papua Barat harus keluar dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan mendirikan Negara merdeka dan berdaulat sendiri.”
10. Setelah Kongres Papua 2000 perjuangan Papua Barat untuk merdeka
mulai menampakkan hasil, namun sejak kematian Theys Hiyo Eluway
perjuangan mengalami kemunduran. Hal itu bertahan hingga sekarang. Namun
perlu diketahui bahwa perjuangan kemerdekaan bangsa Papua kini sedang
mengalami kemajuan yang cukup berarti, terutama atas aksi kaum muda, TPN
dan OPM serta beberapa organisasi perjuangan yang walau susah bersatu
namun cukup mendatangkan hasil bagi kemerdekaan Papua Barat dikemudian
hari.
C. Jenis dan Sikap Mahasiswa Papua
etelah mengetahui memahami perjalanan panjang aksi penjajahan
nation-state lain atas wilayah Papua Barat dan perjuangan kemerdekaan
Papua Barat dalam menghadapi penjajahan itu, maka mahasiswa dihadapkan
kepada tiga pilihan keberpihakan secara umum. Pertama, memihak kepada
penjajah. Kedua, memihak rakyat Papua Barat. Ketiga, tidak memihak
apa-apa dan siapa-siapa (netral/tidak tahu apa-apa).
Untuk mengambil sikap, pertama-tama harus mengetahui dan mengevaluasi
diri kita masing-masing mengenai “dimana” letak kita sebagai mahasiswa
selama ini dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Setelah itu kita
akan menentukan sikap kita dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
Untuk itu, maka berikut ini dijelaskan jenis-jenis mahasiswa Papua dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat dan sikap yang harus diambil ke
depan.
1. Jenis Mahasiswa Papua Barat
Secara umum mahasiswa Papua Barat dikategorikan dalam enam jenis
mahasiswa dalam memandang dan menggapai perjuangan kemerdekaan Rakyat
Papua Barat untuk merdeka lepas dari NKRI dan pendukungnya (terutama
Negara Dunia Pertama). Walaupun sama-sama menyandang titel “mahasiswa”
dan walupun sama-sama merasa diri sebagai orang Papua, tetapi mempunyai
perbedaan yang cukup tajam antara satu sama lain. Keenam jenis mahasiswa
Papua Barat itu adalah:
a. Jenis Mahasiswa Cari Makan
Jenis mahasiswa Cari Makan adalah mereka yang hanya memikirkan perut
mereka. Mereka ini mempunyai banyak urusan dengan negara Indonesia untuk
mendatangkan keuntungan bagi mereka, kebanyakan dari mereka adalah
anak-anak para pejabat yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di
negara Indonesia, atau mempunyai perusahan, LSM dan lainnya. Kebanyakan
dari jenis mahasiswa ini selalu mendukung Otonomi Khusus Papua,
Pemekaran Propinsi/Kabupaten dan lainnya sebagai “lahan” untuk mencari
makan.
b. Jenis Mahasiswa Malas Tahu
Jenis mahasiswa Malas Tahu adalah jenis mahasiswa yang kalau Papua Barat
merdeka mereka terima, kalau tidak merdeka juga mereka tidak
mempermasalahkannya. Kebanyakan mereka adalah orang yang mau tahu
tentang sekarang, bukan besok (masa depan). Kalau kelompok yang
mendukung Otonomi Khusus dan Pemekaran Propinsi/Kabupaten
mempengaruhinya, kereka bisa ikut. Sebaliknya kalau kelompok Papua
Merdeka yang mempengaruhinya mereka mau ikut juga, tetapi tidak sepenuh
hati, hanya sekedar saja.
c. Jenis Mahasiswa Ikut Ramai (Panas-Panas Tahi Ayam)
Jenis mahasiswa Ikut Ramai adalah mahasiswa yang bersemangat, mereka
teriak Merdeka atau Otonomi Khusus atau Pemekaran. Mereka muncul dengan
semangat yang membara, malah ada yang bersumpah akan mati demi Papua
Barat Merdeka. Tetapi kalau ada Program Otonomi Khusus dan Pemekaran
Propinsi/Kabupaten, mereka selalu ajukan permohonan bantuan dalam bentuk
apa saja, atau terlibat dalam urusan pemerintah NKRI dengan semangat
yang membara pula. Kelompok ini muncul dengan sikap seperti itu karena
kurangnya pendidikan politik.
d. Jenis Mahasiswa Menunggu Uluran Tangan
Jenis mahasiswa Menunggu Uluran Tangan adalah jenis mahasiswa yang
selalu menunggu dukungan dari pihak lain. Mereka selalu memasang telinga
untuk mendengar berapa orang non-Papua yang mendukung kemerdekaan Papua
Barat, berapa LSM yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, berapa negara
yang mendukung kemerdekaan Papua Barat, dan lainnya. Jika ada dukungan
mereka akan bersemangat dan akan menjadikannya sebagai buah bibir,
tetapi jika tidak ada dukungan dari pihak lain mereka akan selalu diam.
Kelompok ini adalah mahasiswa yang tidak percaya diri dan menggantungkan
kemerdekaan Papua Barat kepada pihak lain di luar diri mereka.
e. Jenis Mahasiswa Nekad (Membabi-buta)
Jenis mahasiswa Nekad (membabi-buta) adalah mereka yang tidak perduli
dengan apapun juga. Yang mereka mau adalah Papua Barat harus merdeka
dengan cara apa saja. Mereka cenderung membenci orang Jawa, orang Islam,
orang barat dan lainnya yang merugikan hidup mereka atau mengorbankan
perjuangan mereka. Perjuangan dengan jalan membabi-buta dan membenci
orang lain sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dari pihak lain,
karena kecenderugan mereka bukan untuk Papua Barat merdeka, tetapi
karena membenci orang, golongan dan negara lain yang mengorbankan
kemerdekaan Papua Barat.
f. Jenis Mahasiswa Pejuang
Jenis mahasiswa Pejuang adalah mahasiswa yang telah mengetahui dan
memahami “masalah Papua Barat”. Mereka matang dalam pendidikan politik,
peduli dengan penderitaan rakyat Papua Barat, sadar bahwa mereka dan
rakyat mereka sedang dijajah. Mereka ini selalu memperjuangkan
kemerdekaan Papua Barat kapan saja, dimana saja dengan jalan yang
efektif dan efisian dengan pemahaman dan pengetahuan yang matang tentang
perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka inilah yang secara nyata
terlibat dalam barisan rakyat Papua Barat untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Mereka mempunyai satu cita-cita dan tujuan bangsa
dan rakyatnya, yaitu “Papua Barat Merdeka”, karena itu mereka sangat
sulit untuk dipengaruhi oleh musuh, sehingga mereka akan selalu dibenci
oleh musuh perjuangan mereka. Inilah mahasiswa Papua Barat yang tulen
dalam perjuangan kemerdekaan Papua Barat.
2. Sikap Mahasiswa Papua
Sebuah kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa Papua Barat
adalah orang Papua, berkebangsaan Papua, mempunyai ras Negroid dari
rumpun Melanesia dengan ciri fisik berkulit hitam dan berambut keriting.
Ini adalah sebuah kenyataan. Mahasiswa Papua Barat juga adalah orang
yang mempunyai wilayah sebagai tempat tinggalnya dan hidup di wailayah
itu. Ini juga kenyataan.
Walaupun demikian, tidak semua mahasiswa sadar bahwa mereka adalah orang
Papua. Merak tidak sadar bahwa rakyatnya, yaitu orang tua dan
sanak-saudarnya sendiri sedang terjajah, dan lebih gawat adalah mereka
sendiri sering menggadaikan diri sambil menyangkal bahwa mereka bukan
orang Papua. Ini sesuatu yang ironis.
Untuk itu, agar dapat sadar diri sebagai orang Papua, dan memahami
dinamika kehidupan bangsanya dan rakyatnya, maka mahasiswa Papua Barat
harus mempunyai sikap yang tegas dalam menanggapi dinamika kehidupan
yang terjadi di Papua Barat tanpa harus menjadi orang munafik. Untuk
sampai kepada pengambilan sikap secara tegas dan konsisten dalam
perjuangan kemerdekaan Papua Barat, maka beberapa langkah harus
dilakukan, yaitu:
a. Sadar Diri
Pertama-tama harus duduk dan merenung sebentar dan sadarlah bahwa kita
adalah orang Papua. Sadarlah bahwa kita tidak sama dengan orang lain.
Sadarlah bahwa kita mempunyai pengalaman hidup yang berbeda dalam segala
hal. Setelah itu ambillah kesimpulan bahwa kita mempunyai harga diri,
kita mempunyai bangsa, kita berhak menjadi negara merdeka, dan lainnya
yang mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa kita mempunyai harga diri
sebagai manusia, yaitu manusia Papua yang mempunyai kedudukan yang sama
dengan manusia dan bangsa lain di dunia ini.
b. Melihat Kondisi Obyektif
Mahasiswa sebagai kaum intelektual, tentu tidak akan terlepas dari cara
berpikir secara obyektif, yaitu memandang sebuah masalah secara nyata
tanpa memihak apa-apa dan siapa-siapa. Karena itu lihatlah masalah Papua
Barat dari sisi obyektifitasnya, lihat pula penjajahan Papua Barat oleh
nation-state lain secara obyektif pula. Disana kita bisa menemukan
letak kebenaran sebuah persoalan, misalnya letak kebenaran masalah Papua
Barat berkaitan dengan tuntutan kemerdekaannya.
c. Belajar
Selain harus berpikir dan bertindak secara obyektif, kita juga
diharapkan untuk banyak belajar. Belajar tidak harus di kampus
(pendidikan formal), tetapi belajarlah di luar kampus, belajarlah untuk
memahami realita sosial, belajarlah untuk mendengarkan ratap tangis
rakyat Papua Barat, dan belajarlah untuk memetahkan sebuah persoalan
secara benar. Pelajaran yang kita butuhkan di luar kampus misalnya
adalah pendidikan politik, pelatihan jurnalistik, manajemen sumber daya
manusia, latihan kepemimpinan dan lainnya. Di sanalah kita bisa
mengambil banyak ilmu dan pengetahuan untuk bekal perjuangan kita ke
depan.
d. Berjuang
Menjadi pejuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat tidak
sulit. Cukupkanlah kita mempunyai kemauan yang sungguh-sungguh bahwa
kita mempunyai cita-cita kebenaran di masa depan, bahwa Papua Barat
harus merdeka. Sementara mengenai taktik dan strategi perjuangan kita
bisa menggunakan banyak cara asalkan kita tahu cara-cara tersebut. Untuk
memulai menjadi pejuang kita harus memulai dengan cara kita
masing-masing, sedikit demi sedikit, dan dari diri kita masing-masing.
Sehingga dengan cara masing-masing, sedikit demi sedikit, dan diri kita
sendiri, kita akan menciptakan barisan pejuang yang panjang, banyak cara
yang efektif dan akan membawa kemerdekaan Papua Barat itu ke sebuah
alam yang nyata, yaitu di atas “tanah tumpah darah Papua Barat yang kita
cintai.”
D. Penutup
uatu ketika, pertengahan bulan Juli 2005, disebuah diskusi aktivis
kemerdekaan Papua Barat di Jakarta, waktu itu saya diminta untuk menjadi
pembicara. Saya ditanya oleh seseorang begini: kira-kira Papua bisa
merdeka atau tidak? Kalau bisa merdeka, kira-kira kapan? Saya cukup
terkejut mendengar pertanyaan seperti itu. Maklum, saya bukan seorang
peramal yang bisa meramalkan tentang merdeka tidaknya Papua Barat dan
waktu merdekanya Papua Barat. Tetapi saya juga sadar bahwa saya harus
memberikan jawaban kepada orang tersebut.
Sebagai jawabannya saya menanyakan kembali kepada orang tersebut: kalau
orang Papua berjuang, kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak?
Kalau perjuangan itu dilakukan secara baik, benar dan sungguh-sungguh
kira-kira Papua Barat bisa merdeka atau tidak? Dia cukup bingung
mendengar pertanyaan saya. Akhirnya, saya mengatakan bahwa soal Papua
Barat merdeka atau tidak itu urusan nanti, persoalan kapan merdekanya
juga urusan nanti, yang menjadi masalah sekarang adalah orang Papua
harus berjuang untuk merdeka, karena jika waktunya tiba, maka kita akan
menikmati hasil perjuangan itu. Bagi saya kemerdekaan Papua Barat hanya
soal waktu, karena waktu tidak pernah berdusta kepada siapapun juga!
Demikian dan salam “MERDEKA”.
Sumber: TPN.blog
http://www.malanesia.com
http://www.malanesia.com
No comments:
Post a Comment