Oleh : Socratez Sofyan Yoman*
Sultan Hamengku Buwono X mengatakan,
“Dialog bukan solusi, melainkan media atau forum yang disediakan untuk
memulai kebuntuan komunikasi politik antara Jakarta dan Papua.
Komunikasi yang lebih intens dan reguler menjadi penting dalam rangka
mengatasi ketegangan, saling curiga, dan saling tidak percaya selama
ini. Dialog damai bukan sesuatu yang instan, melainkan proses panjang
yang harus dipersiapkan secara matang. Meskipun rumit, dialog sangat
mungkin dilakukan dengan terlebih dahulu menciptakan prasyarat dan
kondisi-kondisi yang membuat para semua pihak semakin yakin untuk
berdialog.”
Sultan mengusulkan prasyarat dialog sebagai
berikut: “Pertama, adalah kesetaraan, keterbukaan, saling menghargai.
Kedua, menyelesaikan akar persoalan kekerasan mancakup pembebasan
tahanan politik dan narapinada politik (tapol/napol), penanganan masalah
tanah (politik pertanahan), penataan aparat keamanan dan intelijen,
serta penyelesaian pelanggaran HAM secara adil dan bermartabat. Ketiga,
dialog nasional harus berdasarkan keputusan politik Pemerintah Pusat,
sebab tanpa keputusan politik yang resmi, hampir pasti tidak akan
mungkin ada dialog damai”.
“Dialog bukan berarti Papua Merdeka, juga
bukan NKRI, Otsus atau Percepatan Pembangunan Papua. Esensi dialog
adalah media, cara berkomunikasi bagi para semua pihak untuk mulai
membuka diri, memandang pihak lain secara setara dan berartabat, serta
keinginan baik untuk duduk bersama membicarakan isu-isu yang menjadi
sumber perpecahan, ketegangan, konflik, dan asal-muasal kekerasan
Papua.” ( Baca : Menuju Bumi Cenderawasih Damai : Sebuah refleksi dan Renungan Suci).
Pidato kenegaraan Presiden Republik
Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, pada 16 Agustus 2008,
“Kebijakan pemerintah yang bersifat persuasif, proaktif, dan berimbang,
ternyata mampu meyakinkan berbagai pihak, bahwa kekerasan, bukanlah
solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah”.
Pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2010,
“Pemerintah dengan seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua,
dan akan terus menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan
Papua yang lebih baik”. Pidato SBY pada 16 Agustus 2011, SBY, “
Menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk
menyukseskan pembangunan Papua”.
Pemerintah Amerika Serikat mendukung penuh
dialog damai untuk penyelesaian masalah Papua. Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat, Hillary Clinton, di Honolulu, Hawaii, 10 November
2011, menyatakan: “Perlu adanya dialog dan reformasi politik
berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan legal rakyat Papua, dan kami akan
mengangkat kembali isu itu secara langsung dan mendorong pendekatan
seperti itu.”
Pada 16 Desember 2011, para pemimpin Gereja
Papua bersama dengan para petinggi Persekutuan Gereja-gereja Indonesia
(PGI) mengadakan pertemuan dengan Presiden RI di Cikeas dan menyampaikan
bahwa: “Tuntutan Rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri sudah
mengkristal dan dialog damai tanpa syarat dan melibatkan pihak ketiga
secepatnya dilaksanakan.”
Pada 17 Mei 2013, waktu para pemimpin
Gereja Papua mengadakan pertemuan dengan Duta Besar Amerika Serikat
untuk Indonesia di kediamannya, disampaikan bahwa “pemerintah Amerika
Serikat mendukung penuh untuk menyelesaikan masalah Papua dengan jalan
dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia.”
Pada tanggal 3 Mei 2007, Gereja-gereja di
Tanah Papua menyatakan bahwa Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua
menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan. Maka, solusinya ialah
“Dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog
tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan
disetujui oleh Orang Asli Papua dan pemerintah Indonesia.”
Pada tanggal 3-7 Desember 2007, seluruh
Pimpinan Agama dan Gereja dalam Lokakarya Papua Tanah Damai mendesak
agar pemerintah Indonesia “segera menyelesaikan perbedaan ideologi di
Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara pemerintah
pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral
dan disetujui oleh kedua belah pihak”.
Pada 22 Oktober 2008, Gereja-gereja di
Tanah Papua menilai bahwa ”Masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan
PEPERA tidak akan bisa diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan,
penangkapan, penahanan, atau pemukulan yang dilakukan oleh aparat
keamanan. Menangkap, mengadili dan memenjarakan semua orang Papua pun
tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Kami percaya bahwa kekerasan
sebesar apapun tidak pernah akan menyelesaikan persoalan PEPERA ini.
Oleh sebab itu, untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang
Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah
PEPERA ini diselesaikan melalui suatu dialog damai.”
Pada tanggal, 14-17 Oktober 2008,
Konferensi Gereja dan Masyarakat menyatakan, “Pemerintah Pusat segera
membuka diri bagi suatu dialog antara pemerintah Indonesia dan Orang
Asli Papua dalam kerangka evaluasi pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001
tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan
pernyataan-pernyataan stigmatisasi ’separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan
sejenisnya yang dialamatkan kepada Orang Asli Papua dan memulihkan hak
dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak
bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan.”
Pada tanggal 18 Oktober 2009 dinyatakan,
“Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak
menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA 1969
ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah
Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui
dialog yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betapapun
sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai
antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog,
solusi damai akan ditemukan.”
Pada 12 Agustus 2010, para pemimpin Gereja
di Tanah Papua dalam pernyataan moral dan keprihatinan menyatakan, “Para
pemimpin Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan untuk segera diadakan
dialog nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah Papua
secara adil, bermartabat, dan manusiawi yang dimediasi oleh pihak ketiga
yang lebih netral.”
Pada 10 Januari 2011, Komunike Bersama Para
Pemimpin Gereja di Tanah Papua mendesak pemerintah RI untuk segera
melakukan dialog dengan rakyat Papua guna menyelesaikan ketidakpastian
hukum dan politik di Tanah Papua yang menjadi akar dari konflik yang
berkepanjangan dan telah menyengsarakan umat Tuhan di tanah ini.
Pada 26 Januari 2011, para pemimpin
Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah Indonesia
untuk membuka diri untuk berdialog dengan rakyat asli Papua yang
dimediasi pihak ketiga yang netral.
Persekutuan Gereja-gereja Di Indonesia
(PGI) dalam Sidang Majelis Pekerja Lengkap di Tobelo, 04-08 Februari
2011 menyatakan: “Mendengarkan jeritan rakyat Papua mengenai harkat dan
martabat mereka dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya sebagai
akibat kegagalan UU Otonomi Khusus, serta memberi perhatian serius
terhadap kritik-kritik yang disampaikan oleh gereja-gereja di Tanah
Papua terhadap proses-proses pemerintahan, politik dan sosial.
Memperhatikan secara sungguh-sungguh desakan gereja-gereja di Tanah
Papua bersama Masyarakat Adat Papua untuk mewujudkan dialog
Papua-Jakarta. Dalam Position Paper Pokja Papua-PGI Tentang Masalah
Papua pada nomor 3 point b menyatakan: “ Mendesak Dialog Nasional
sebagai flatform demokrasi untuk menemukan solusi terbaik, adil dan
terhormat bagi rakyat yang merasakan dirinya “dijajah” sejak 1969”.
Dewan Gereja se-Dunia juga mendukung dialog damai yang dimediasi pihak
ketiga. Dewan Gereja-Gereja Reformasi Se-Dunia mendukung referendum bagi
penduduk asli Papua Barat.
Rakyat Papua mengadakan Konferensi
Perdamaian Papua, 5-7 Juli 2011 di Jayapura, yang dibuka oleh
Menkopolhukam dan menjadi Keynote Speech dan pembicara lain seperti
Gubernur Papua, Pangdam XVII Trikora/Cenderawasih, Kapolda Papua. Uskup
Dr.Leo Laba Ladjar, Dr. Tonny Wanggai, saya sendiri (Socratez Yoman).
Melalui Konferensi ini rakyat Papua telah
memilih 5 (lima) orang dan menetapkan sebagai juru runding Papua untuk
berdialog dengan Jakarta: (1) Rex Rumakiek (Australia), (2) John Otto
Ondowame (Vanuatu), (3) Benny Wenda (Inggris), (4) Leoni Tanggahma
(Belanda), (5) Otto Mote (Amerika Serikat).
Pemerintah Indonesia tidak bisa beralasan
bahwa rakyat Papua banyak faksi dan kelompok dan tidak ada pemimpin yang
diajak berbicara. Ya, sekarang rakyat Papua sudah ada pemimpin dan juru
runding yang sudah dipilih rakyat Papua melalui Konferensi yang dibuka
resmi oleh Pemerintah Indonesia. Dan juga pemerintah Indonesia tidak
beralasan bahwa masalah Papua adalah persoalan internal Indonesia.
Namun demikian, dalam pemahaman rakyat Papua dan fakta sejarah bahwa
masalah Papua adalah persoalan yang berdimensi internasional.
Seperti cendikiawan ternama dan juga
peneliti LIPI terkemuka, Dr. Ikrar Nusa Bhakti mengakui : “Bahwa
sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya (sekarang: Papua) bukan
hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga
persoalan yang menyangkut dunia internasional. Ia bukan hanya mengaitkan
hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dan pemerintah, antara
pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antara gereja”.
Dengan tepat dan benar Pendeta Dr. Karel
Phil Erari telah menyampaikan: “Bagi Papua, konstruksi konflik
berdimensi lokal, nasional dan internasional. Dengan konstruksi seperti
itu, maka upaya melakukan perdamaian atau “peace building” agar tercipta
keamanan yang utuh dan komprehensif, hendaknya melibatkan tiga komponen
yang terkait dalam sejarah “perang dingin” di Papua. Mengapa, karena
upaya membangun perdamaian demi keamanan bagi rakyat Papua, hanya akan
sementara dan rapuh jika akar persoalan dan pihak-pihak yang terlibat
dalam sejarah “perang dingin” itu berada di luar konstruksi perdamaian
yang hendak dibangun. Kelompok Internasional itu termasuk Belanda,
Amerika Serikat dan PBB. Ketiga pihak ini telah terlibat secara langsung
dan terbukti dalam suatu konspirasi internasional yang mendukung suatu
praktik Act of Free Choice yang bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum Internasional. Praktik pelaksanaan PEPERA dengan sistem
perwakilan, memperlihatkan kebohongan publik, karena 1.025 “wakil
rakyat” dengan tekanan politik dan militer, dipaksa memilih Indonesia.”
(Baca: Erari: Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru, Lima Puluh Tahun Gereja Kristen Injili Di Tanah Papua 26 Oktober 1956-26 Oktober 2006, hal.182).
*Penulis adalah Ketua Umum Badan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
No comments:
Post a Comment