Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Duma Socratez Sofyan Yoman (Foto: Oktovianus Pogau/SP)
*Oleh: Socratez Sofyan Yoman
Kita semua ikuti reaksi pemerintah dari berbagai media massa di
Indonesia yang berhubungan dengan pembukaan kantor OPM, pada 28 April
2013 di Oxford. Pembukaan ini dihadiri anggota Parlemen Inggris sebagai
Koordinator Parlemen Internasional untuk Kemerdekaan Papua Barat (IPWP)
Andrew Smith, Wali Kota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, mantan Wali Kota
Oxford Elise Benjamin, dan Jeniffer Robinson, Charles Foster
dari pembela dan penasihat hukum Internasional untuk Papua Barat
Merdeka dan seorang pemain Rugby Nasional Papua New Guinea Paul Aiton.
Reaksi Pemerintah Indonesia
Reaksi Pemerintah Indonesia pada waktu Pembentukan Parlemen
Internasional untuk Papua Barat (IPWP) pada 15 Oktober 2008, di kantor
Parlemen Inggris di London dan pembukaan kantor OPM di Oxford 28
April 2013 sangat berbeda.
Reaksi pemerintah menyikapi peristiwa pembentukan IPWP lima tahun
yang lalu seperti yang pernah disampaikan menteri Luar Negeri Indonesia
Hasan Wiradjuda : “Kegiatan di London itu hanya kongkow-kongkow saja
karena dihadiri oleh tiga orang anggota Parlemen Inggris dari semua yang
diundang”.
Peristiwa pembentukan IPWP itu dianggap remeh dan tidak ada dampak
politik secara luas. Sebalilknya, pembukaan Kantor OPM di Oxford tahun
ini, pemerintah Indonesia memberikan reaksi keras kepada Pemerintah
Inggris.
Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa memanggil Duta Besar
Inggris Mark Canning untuk diminta penjelasan dan
pertanggungjawaban. Mark Canning menyampaikan posisi Pemerintah Inggris
adalah tetap mendukung keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Papua.
Dinilai dari bobot reaksi Pemerintah Indonesia seperti ini sangat memalukan kita semua. Pemerintah Indonesia menjadi negara
paranoid. Pemerintah Indonesia diselimuti dengan rasa ketakutan yang sangat luar biasa dan berlebihan.
Kalau pemerintah Indonesia
paranoid-nya sudah berlebihan,
patut dipertanyakan. Apa yang dilakukan dan disembunyikan
pemerintah Indonesia terhadap rakyat Papua selama 50 tahun? Mengapa
pemerintah tidak mengijinkan wartawan asing masuk Papua?
Pemerintah Indonesia harus menyadari dan mengakui kejahatan yang
dilakukan dan kegagalan selama 50 tahun di Papua. Sangat memalukan,
pemerintah Indonesia menyerang pemerintah Inggris dan Negara-negara
lain yang simpati dan mendukung rakyat Papua untuk penegakkan hak asasi
manusia dan demokrasi sebagai pilar dan nilai universal.
Pembukaan kantor OPM di Oxford adalah hak politik rakyat dan bangsa Papua yang diperjuangkan selama 50 tahun.
Respons Rakyat Papua
Sementara reaksi rakyat Papua terhadap pembukaan kantor OPM di Oxford
adalah disambut dengan penuh sukacita di seluruh Tanah Papua.
Rakyat Papua melihat dan menilai bahwa pembukaan kantor OPM di Oxford
merupakan cahaya kecil kemenangan dan harapan yang diraih oleh rakyat
Papua yang sudah diperjuangkan dan dinantikan selama 50 tahun dengan
cucuran darah dan tetesan air mata.
Menurut rakyat Papua, walupun Pemerintah Inggris dan Negara-negara
lain di dunia internasional tidak mendukung perjuangan Papua Merdeka
dan mereka tetap mendukung Indonesia, rakyat Papua sudah sadar,
bahwa yang berjuang untuk bebas dan berdaulat penuh di atas tanah
leluhurnya adalah rakyat Papua bukan pemerintah Inggris dan
negara-negara asing. Walaupun, rakyat Papua sangat membutuhkan dukungan
Negara asing.
Dalam semangat ini, rakyat Papua sudah merasa mendapat beberapa
keuntungan dari pembukaan kantor OPM di Oxford adalah; (1) persoalan
Papua sudah menjadi masalah nasional dan internasional. Sudah tidak
lagi rahasia umum. (2) Reaksi keras dan berlebihan Pemerintah Indonesia
dapat memperkuat dan membuka mata komunitas internasional tentang
masalah Papua yang selama ini ditutup-tutupi. (3) Sekarang Rakyat Papua
sudah menyadari bahwa dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua Barat demi
masa depan mereka dan anak cucu yang lebih baik dan damai tidak
sendirian. (4) Diplomasi pemerintah Indonesia yang berbasis
pada kebohongan-kebohongan selama ini tidak berhasil meyakinkan
komunitas internasional. (5) Rakyat Papua yakin bahwa dunia sekarang
semakin mengglobal dan masalah Papua yang disembunyikan selama ini sudah
tidak lagi menjadi rahasia. (6) Rakyat Papua semakin mendapat
kepercayaan bahwa perjuangan melawan kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan oleh Pemerintah Indonesia harus dilawan dengan cara-cara
elegan, bermartabat dan manusiawi, yaitu: lobby dan diplomasi di
tingkat nasional dan internasional dengan menyampaikan bukti-bukti
kejahatan dan kegagalan pemerintah Republik Indonesia atas Papua selama
50 tahun.
Reaksi PBB
Menanggapi kejahatan kemanusiaan yang dilakukan pemerintah Indonesia
atas Papua, Komisioner HAM PBB Ibu Navi Pillay di Genewa pada 2 Mei
2013 menyampaikan kekecewaannya atas kekerasan dan kejahatan kemanusiaan
terhadap warga sipil Papua. Pillay menyatakan ada banyak tanahan
politik di Papua, tidak ada kebebasan berpendapat dan berkumpul rakyat
Papua.
“Setelah kunjungan resmi saya ke Indonesia bulan November tahun lalu,
saya kecewa atas kekerasan dan penyelahgunaan kekuasaan terus
berlangsung di Papua. Tidak ada pertanggungjawaban terbuka terhadap
kekerasan yang terjadi di Papua. Saya mendesak Indonesia untuk
mengijinkan wartawan asing masuk Papua dan difasilitasi pelapor Khusus
Dewan HAM PBB”. (Sumber: Jakarta Globe, Saturday May 4, 2013, hal.8)
Pembukaan kantor OPM di Oxport tidak terlepas dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua.
Dalam penegakkan HAM dan demokrasi, pemerintah di Indonesia mendapat
raport merah dan rekor terburuk dalam laporan PBB. Penilain ini
terbukti dengan tekanan dari Negara-negara anggota PBB (Amerika Serikat,
Inggris, Swiss, Kanada, Norwegia, Korea Selatan, Jepang, Prancis,
Jerman, Meksiko, Selandia Baru, Australia, Spanyol dan Italia) dalam
Sidang HAM PBB (UPR) 23 Mei 2012 di Genewa, Swiss.
Rekomendasi dari Negara-negara anggota PBB ini belum dilaksanakan
oleh Pemerintah Indonesia. Sebaliknya, pemerintah Indonesia meningkatkan
kekerasan dan kejahatan Negara atas rakyat Papua belakangan ini.
Tekanan dari PBB dan masyarakat Internasional itu sebenarnya tidak
perlu terjadi kalau pemerintah Indonesia dengan sungguh-sungguh
membangun Papua sejak Papua dianeksasi ke dalam wilayah
Indonesia melalui rekayasa politik melalui PEPERA 1969.
Kita patut pertanyakan sekarang setelah 50 tahun Papua dalam
Indonesia. Apakah orang Papua sudah dimajukan dan berkembang dalam
bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, kebudayaan?
Apakah pemerintah menghormati dan melindungi martabat dan hak-hak
asasi orang Papua? Bagaimana rakyat Papua sangat miskin di atas tanah
dan sumber daya alam yang kaya? Apakah tidak ada tahanan politik di
Papua? Mengapa Filep Karma dan Forkorus dan kawan-kawan sebagai tanahan
politik tidak dibebaskan?
Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah Indonesia atas kejahatan dan
pelanggaran HAM selama 50 tahun dan pembunuhan 3 orang di Sorong Papua
tanggal 30 April 2013? Bagaimana pertanggungjawaban pemerintah terhadap
2.200 anak Kristen Papua yang dibawa ke Jawa Barat dan dididik dalam
Pesantren dan di-Islam-kan yang selidiki oleh wartawan Michael Bacheland
dimuat dalam laporan majalah The Sydney Morning Herald?
Sebenarnya, ada kesempatan baik bagi pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki rekor terburuk, pemerintah dan sebagian orang terdidik Papua
merancang UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Undang-Undang Otonomi Khusus disahkan DPR RI, Pemerintah dan
didukung negara-negara asing. Ternyata Otonomi Khusus yang menjadi
jalan tengah penyelesaian masalah Papua yang berprospek damai dan
bermartabat itu telah gagal dan menjadi malapetaka terhadap rakyat
Papua.
Otsus telah gagal, Pemerintah Indonesia menggantikan UP4B tanpa
diminta pendapat rakyat Papua. Tapi sayang, UP4B itu juga telah gagal
dilaksanakan.
Sekarang Pemerintah Indonesia sudah menyatakan Otsus Plus. Apa yang
terjadi ke depan kalau pemerintah Indonesia terus-menerus berbohong
dengan rakyat Papua?
Kenyataan ini membuktikan pemerintah dan aparat keamanan Indonesia di
Tanah Papua telah gagal melindungi dan mengindonesiakan penduduk orang
asli Papua.
Keprihatinan ini sudah disampaikan oleh orang Papua dalam (a) 11
rekomendasi Musyawarah Majelis Rakyat Papua Dan Masyarakat Asli Papua
pada 9-10 Juni 2010; (b) Komunike bersama pimpinan Gereja pada 10
Januari 2011; (c) Deklarasi teologi para pemimpin Gereja 26 Januari
2011; dan (d) pesan profetis Pimpinan Gereja Papua kepada Presiden RI,
16 Desember 2011 di Cikeas, Jakarta.
Solusi yang diusulkan
Dialog damai, jujur dan setara tanpa syarat yang dimediasi pihak
ketiga yang netral antara wakil-wakil rakyat Papua yang sudah dipilih
dan ditetapkan seperti: Rex Rumakiek di Australia, Otto Ondowame di
Vanuatu, Benny Wenda di Inggris, Leoni Tanggahma di Belanda dan Otto
Mote di Amerika) dan wakil Pemerintah Indonesia.
Dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga yang netral karena persoalan
Papua adalah masalah yang berdimensi internasional karena ada
keterlibatan langsung PBB, Amerika dan Belanda.
Rakyat dan bangsa Papua diberikan kesempatan untuk mengatur dirinya
sendiri (Self-Determination) dengan komitmen-komitmen politik,
keamanan, dan ekonomi antara Papua dan Indonesia. Usulan ini
sepertinya dianggap ekstrim.
Namun demikian, menurut saya usulan ini sangat relevan sesuai
realitas dan tuntutan rakyat Papua selama ini karena Pemerintah
Indonesia sudah tidak dipercaya lagi oleh rakyat Papua.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
No comments:
Post a Comment