<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Berjuang Untuk Papua Merdeka, Dari Melbourne Hingga Oxford

Berjuang Untuk Papua Merdeka, Dari Melbourne Hingga Oxford

Benny Wenda saat berkampanye di Melbourne, Australia. [Istimewa] Benny Wenda saat berkampanye di Melbourne, Australia. [Istimewa]


Papua masih menjadi duri dalam daging Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selama 50 tahun bersama Indonesia, perjuangan Papua barat melepaskan diri dari NKRI tidak pernah pupus.

Berbagai solusi diberikan pemerintah, semuanya itu seperti tanpa makna. Rakyat Papua tetap berteriak, mereka merasa dianaktirikan, padahal kekayaan alam mereka dikuras habis-habisan untuk NKRI.

Bukan cuma itu, berbagai kasus pelanggaran HAM, kekerasan, dan penembakan misterius kerap terjadi di pulau ujung timur Indonesia itu.

Rakyat Papua pun berpikir, mereka sedang dalam fase genosida secara sistematis. Otonomi Khusus (Otsus) Papua seperti halusinasi bagi kebanyakan rakyat Papua.

Mereka nyaris tidak merasakan dampak dari program besutan pemerintah pusat itu. Lantas kemana uang triliunan rupiah untuk Otsus Papua itu mengalir?

Semua masalah ini menjadi inspirasi bagi  seorang aktivis Papua di luar negeri, Benny Wenda untuk mencoba menarik perhatian dunia.

Pendirian kantor perwakilan Papua di Oxford, Inggris, yang bernama International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP)  adalah salah satu hasil  kerja keras Benny Wenda.

Pelobi Ulung


Benny Wenda adalah pemimpin kemerdekaan Papua Barat dan pelobi internasional untuk kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia.

Dia tinggal di pengasingan di Inggris. Pada tahun 2002, ia diberikan suaka politik oleh Pemerintah Inggris setelah melarikan diri dari pengejaran aparat Indonesia di  Papua.

Dia adalah tokoh terkemuka di kancah internasional untuk gerakan kemerdekaan Papua Barat dan telah menjadi perwakilan khusus dari orang-orang di Parlemen Inggris dan PBB. 

Dia memuli kampanye Papua merdeka dari Australia. Mengenakan kaos bermotif Papua, wajah Benny Wenda gampang dikenali di jalan-jalan  Melbourne, Australia.

Saat itu, dia sedang menjalani tur dunia terbaru, mencoba menarik perhatian dunia. Ada perasaan hening penuh damai sekaligus keputusasaan saat dia menjelaskan situasi yang dialami rakyat Papua Barat.  

“Anda tidak bisa berburu dan berkebun setiap hari. Ke manapun Anda pergi ada pos penjagaan militer di mana-mana,“ kata Wenda. “Ke manapun Anda pergi, intel mengawasi dan memonitor apa yang anda kerjakan.“

Papua Barat dulunya adalah bekas koloni Belanda, yang secara efektif diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1962 melalui perjanjian yang dibuat oleh Amerika Serikat. Melalui referendum pada tahun 1962, Indonesia mengontrol penuh wilayah itu.

Referendum itu dinilai kontroversial, dan karena itu pula sampai sekarang konflik masih berlanjut antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan tentara Indonesia.

Wenda lahir di Desa Baliem, di pusat dataran tinggi Papua Barat pada tahun 1975.  Dia mengatakan, dirinya secara terpaksa sejak muda menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan tentara Indonesia.

“Bibi saya diperkosa di depan mata saya. Ibu saya dipukuli di depan saya. Saat itu saya berusia lima tahun. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya menangis,” katanya.

Ketika militer Indonesia membombardir desa Benny pada akhir 1970 an, keluarganya bersama ribuan orang lainnya dipaksa hidup bersembunyi di hutan.

Pengalaman inilah yang mengobarkan semangatnya untuk mencari kebenaran dan mencoba memerdekakan rakyatnya dari penindasan.

“Saat itulah saya berdiri dan mengatakan, ini tidak adil,” kata Wenda. ”Saya sekolah, belajar dan mulai berjuang untuk kemerdekaan rakyat saya.“

Wenda menjadi seorang pemimpin perwakilan sukunya pada tahun 1999, selama periode yang dikenal sebagai “Musim Semi Orang Papua,” masa ketika semakin banyak aksi damai menuntut kemerdekaan.

Tak lama kemudian dia dipenjara, ditangkap karena dituduh ikut merencanakan penyerangan sebuah kantor polisi dan membakar dua toko dalam kerusuhan tahun 2000.

Dia menyebut penahanan itu bermotif politik dan pengadilan atas dirinya adalah pengadilan yang tidak adil. Organisasi Fair Trials International pun  mendukung klaim Wenda.

Ketika di penjara, ia menulis sebuah lagu bagi para pendukungnya. Salah satu lirik lagu itu berbunyi “Bagaimana sekarang saya bisa menolong rakyat jika saya terkurung?”

Setelah beberapa bulan dalam tahanan isolasi, Wenda berhasil melarikan diri. Dia kabur ke Papua Nugini dan kemudian dengan dibantu oleh LSM Eropa melakukan perjalanan ke Inggris, di mana ia kemudian mendapatkan suaka politik. [DW/L-8]
Share this article :

No comments:

 
Copyright © 2011. Tuan Tanah Papua News . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger