Mahasiswa Universitas
Wahid Hasyim Semarang (Foto: Ist)
Oleh : Piet Petrus Yobee*
Pesta demokrasi di Papua selalu
diwarnai konflik, korban material, hingga kemanusiaan. Namun, tak pernah
diindahkan dan ditangapi pemerintah secara serius. Barangkali karena pemerintah
dan aparat menganggapnya sebagai suatu konflik horinzontal yang tidak kalah
pentingnya direduksi oleh mereka. Akibatnya melalui konflik horizontal tersebut
aparat pun berpangku tangan dan ingin memeliharanya dan hal ini terus
terjadi.
Sepertinya tak bisa dipungkiri bahwa
konflik horizontal ini sudah lama dianggap sebagai sesuatu yang sangat lumrah
bagi siapapun. Namun disini jika kita amati baik maka bukan main. Segala
kerugian yang tertimpah disini pula, baik secara harta kekayaan baik itu aset
pemerintah daerah, masyarakat maupun kerugian atas merengutnya nyawa orang papua
yang tak ternilai sama dengan harta diatas ini.
Hal yang sama itu selalu saja
berulang diberbagai daerah papua. Pada umumnya di daerah pegunungan tengah
Papua, yang secara Politis dan pendidikan baru mulai menyentuh. Dengan demikian
jika terjadi pesta demokrasi maka akan di tetapkan bahwa korban pertama disini
akan dirasakan oleh rakyat pribumi papua itu sendiri.
Kemudian Pesta Demokrasi itu juga
mulai tercuat maka aparat yang bertugas disini juga mengetahui persis bahwa
akan terpecah konflik horizontal. Oleh sebab tu, aparat ini mulai berpangku
tangan dan tak mau berurusan dengan konflik horizontal ini. Selebihnya juga
bahwa aparat ini akan membawa persolan seputar korban rakyat papua akibat ulah
TNI/POLRI ini untuk menutup diri. Juga akan menambah laporan bahwa korban
akibat konflik horizontal jumlah meningkat dibanding konflik pihak aparat dan
masyarakat pribumi papua.
Sebagaimana sejumlah insiden yang
terjadi seperti baru-baru, Kantor Bupati Dibakar, KPU Mamberamo Tengah juga
dilalap api. Kejadian Pada Rabu (30/1) pukul 03.00 juga dibakar Orang Tak Kenal
alias (OTK). Kantor Bupati dan KPU berlokasi Dikobakma, Ibu Kota Kabupaten
Mamberamo Tengah, yang hanya bisa ditempuh selama 18 jam perjalanan darat atau
20 menit penerbangan dengan pesawat kecil dari Wamena, Ibu Kota Kabupaten
Jawijaya.
Pembakaran itu diduga terkait
sengketa Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Mamberamo Tengah. Selasa lalu, Mahkama
Konstitusi (MK) dalam sidang yang dipimpin Mahfud MD menolak gugatan yang
diajukan Pasangan Calon Bupati-Wakil Bupati Eremen Yogosam-Leonard Doga.
Eremen-Leonard meminta hasil pilkada dibatalkan karena tak ada pemunggutan
suara di Dogobak, Binime, Yagabur, dan Pelanme di distrik Kelila, Mamberamo
Tengah.
KPU Mamberamo Tengah menolak dalil
dari Eremen-Leonard. Suara Pemilih dikelila dipungut dengan cara noken (semua
warga satu suara). MK juga tak menemukan ada pelanggaran dalam pilkada tahun
2012 itu. Pemenang pilkada tetap Ham pagawak-Yonas kenela. Mengutip
Kompas Kamis (31 Januari 2013) dibagian umum.
Nasib yang sama pernah dialami pula
oleh Kabupaten Dogiyai pecahan dari kabupaten Nabire juga bahwa karena ada dua
kandidat yang bersaing dalam (pilkada) itu didaerah hingga awalnya dibakar
kantor KPU kabupaten Dogiyai, kemudian tidak lama lagi dibakarnya kantor bupati
kabupaten dogiyai itu sendiri oleh salah satu pendukung masa kadidat akibat
tidak kalah salah satunya dalam pilkada kabupaten Dogiyai itu.
Begitu juga pernah terjadi di
kabupaten Tolikara dimana korban luka akibat bentrok antar warga di Tolikara
meningkat hingga 85 belum lagi dihitung dengan korban jiwa sebagian dirujuk ke
RS dok 2 jayapura menutip bintang papua pada Jumat, (17 Februari 2012
23:05). Serta daerah lain juga yang pernah dialami yang mana disini penulis tak
menyebutkan satu persatu. Oleh sebabnya kini untuk antisipasi kesemua hal tak
terulang lagi maka apa yang penting disiapkan oleh pemerintah, baik pusat,
daerah maupun aparat itu sendiri dalam hal cinta damai.
Sekarang jika ada pemerintah punya
niat preventif untuk hal demikian tak terulang lagi maka daerah papua yang
rawan konflik spesifiknya daerah-daerah pemekaran kabupaten baru yang umunya
terjadi sebagaimana diatas terungkap bahwa “Daerah ini juga masih minim akan
pendidikan, pendidikan politik ini menjadi sangat basic untuk dituangkan disini”.
Mengapa penulis ingin katakana demikian didalam tulisan ini? Karena akan
termanja terus dengan “money politik” maka otomatis kandidat tersebut,
aparat akan berpangku tangan melihat enak saja insiden yang terjadi didepan
mereka.
Sebagai intelek papua juga sedikit
akan memahami semua perkembangan politik ditanah papua yang kian termasif.
Kemudian untuk sisi menjaga sisi menahan, menghormati nama hukum yang adil, tak
berat sebelah maka jangan pernah pembela hukum (Lembaga Yudusial) mengabulkan
permohonan diulangnya puggutan suara ulang dengan alasan karena distrik ini
ketertinggalan dalam pemunggutan suara dsb. Karena penulis amati, teliti maka
persoalan dasarnya semua sama sebagaimana disebutkan semua kabupaten diatas
ini.
Kali kedua menekannkan lagi jangan
pernah indahkan permohonan gugatan slah satu kandidat pun untuk pemunggutan
ulang (Pilkada) daerah papua ini. Kalau pemerintah ini ingin bangun dengan hati
papua ini dalam NKRI yang besar itu pula. Karena resiko yang didertia oleh
masyarakat sangat besar jumlahnya jika kita kalkulasikan dengan teliti, semua
insiden ketika (Pilkada) itu tiba dan hadapi kepada rakyat papua disini. Karena
belum adanya pengentasan yang jelas untuk memutuskan langsung (Pilkada) dipapua
ini langsung oleh lembaga Yudisil ini, tetapi malah lembaga yudisial juga terus
saja diterima semua pengajuan (Pilkada) ulang itu semua. Maka Penulis berani
dan jujur katakan saja bahwa tidak kosnsiten dengan keputusan awal, maka kami
tidak dapat juga menemukan ada apa dibalik pilkada ulang hingga menghabiskan
rakyat papua, sehingga renggut segalanya ini.
Penulis sangat salut baik karena ada
ditemukannya diajukan Mahkama Konstitusi (MK), namun telah ditolak inilah yang
penting ditingkatkan dipihak tubuhnya lembaga yudisial kini. Bukan karena ada
imingan sehingga harus kalah dengan kebenaran hokum, tetapi keadilan hukum
itulah yang kini pupuk dan pelihara kembali “Bukan Hukum ini Yang Kuasai Kita,
Melainkan Kita Yang Harus Kuasai Hukum”.
*Penulis adalah Mahasiswa
Universitas Wahid Hasyim Semarang, Jurusan Hubungan Internasional (HI).
No comments:
Post a Comment