(poto bersama) |
Lembaga-lembaga ini antara lain Komisi HAM Asia (AHRC), Dewan Gereja-Gereja se-Dunia (CCIA/WCC), Komisi Keadilan dan Perdamaian Ordo Dominikan (OP), Franciscans International (FI), Koalisi Internasional Untuk Papua (ICP), Survival International (SI), Persekutuan Misi Evangelikal (UEM), Vivat International (VI) dan Jaringan Papua Barat (WPN).
Dalam pernyataannya, mereka menyebut beberapa contoh kekerasan terbaru di Papua, termasuk penyiksaan dan penganiayaan terhadap 20 narapidana di penjara Abepura pada 21 Januari lalu.
Kasus lain, menurut mereka, terjadi pada 15 Februari dimana 7 orang Papua ditangkap di Depapre, Papua, dan kemudian dibawa ke kantor polisi Jayapura.
“Para korban disiksa ketika sedang diinterogasi mengenai hubungan mereka dengan aktivis politik dan hak asasi manusia yang bersembunyi selama beberapa bulan”, kata mereka.
Selain itu, pada tanggal 2 Maret, Pendeta Yunus Gobai, mantan pemimpin Gereja Kingmi Maranatha Nabire dipukul dan ditangkap oleh polisi di kabupaten Paniai.
“Polisi kemudian meminta Rp 1.000.000 untuk pembebasannya meskipun tidak ada tuntutan pidana terhadap dirinya”.
Mereka juga menegaskan, selama setahun terakhir, kasus kekerasan antara pasukan keamanan Indonesia, kelompok-kelompok militan dan warga sipil yang menyebabkan kematian terjadi berulang-ulang.
“Karena itu kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk merumuskan sebuah proses perdamaian partisipatif dan komprehensif untuk Papua demi mengakhiri spiral kekerasan”.
Mereka mengaku menyambut baik komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berulang kali menyuarakan dukungan terhadap dialog dengan Papua, tetapi mereka juga mengingatkan dialog harus segera dilakukan untuk “menemukan solusi yang kontinu bagi semua orang di Papua”.
Mereka pun meminta akses terbuka ke Papua, tidak hanya untuk wisatawan, tetapi juga bagi jurnalis asing untuk memastikan pelaporan independen tentang konflik, karena kata mereka, wartawan lokal menghadapi intimidasi atau ancaman pembunuhan.
Yang terakhir, mereka mendesak untuk membebaskan semua tahanan politik, sebagai syarat untuk melakukan dialog yang tulus dan partisipatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.
Pastor Neles Tebay, yang pada hari Rabu menerima penghargaan dari Yayasan Tji Hak-soon Untuk Keadilan dan Perdamaian yang berbasis di Korea Selatan mengatakan, dialog menjadi sarana terbaik dan paling bermartabat untuk mencari solusi yang adil dan damai bagi Papua.
“Kami ingin banyak orang dan lembaga, baik dari dalam maupun dari luar Indonesia menjadi partner dialog antara Jakarta dan Papua,” kata koordinator Jaringan Damai Papua ini.
Ryan Dagur, Jakarta
Berita terkait: Appeal for UN intervention in Papua
http://www.star-papua.com/2013/04/dialog-adalah-kunci-mengakhiri.html
No comments:
Post a Comment