Jayapura – Tindakan oknum aparat keamanan yang menewaskan dua warga sipil di Sorong, Papua Barat dikecam sejumlah aktivis Papua.
Aksi Orang Asli Papua (OAP) pada
1 Mei 2013 lalu untuk merefleksikan dan mengenang ‘aneksasi’ hendaknya dilihat
dari perspektif sejarah dan kebebasan berekspresi. “Bukan malah dihadapi dengan
peluru dan kekerasan. Jadi kami kutuk aparat yang sewenang-wenang,” kataKetua
Gerakan Rakyat Demikratik Papua (Garda-P), Bovit Bofra ke wartawan di
Padangbulan, Kota Jayapura, Papua, Senin (6/5) siang.
Sedangkan Kepolisian Daerah
(Polda) Papua mengklaim penembakan yang berujung pada tewasnya Abner Malagawak
(22 tahun) dan Thomas Blesua (28 tahun), 1 Mei 2013
di Distrik Aimas, Sorong, Papua Barat itu sudah sesuai prosedur, yang diatur
undang-undang yakni pasal 48 dan 49 KUHP, dimana saat polisi terancam sesuai
diskresinya bisa melakukan pembelaan dengan mengeluarkan tembakan melumpuhkan.
“Polisi terpaksa harus melakukan
pembelaan diri dengan mengeluarkan tembakan, karena ratusan massa yang
menggelar aksi demo menyerang menggunakan senjata tajam. Massa anarkis,
menyerang anggota yang sedang berpatroli, serta membakar mobil Wakapolres
Aimas, sehingga sesuai prosedur dikeluarkan tembakan pembelaan diri,” kata I
Gede Sabtu (4/5).
Ketua Parlemen Jalanan (Parjal)
Papua, Yusak Pakage mempertanyakan legitimasi hukum yang dilakukan oknum
polisi. Yusak mengatakan, jika NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) takut
kehilangan Papua, jangan menghalalkan segala cara untuk ‘memusnahkan’ orang
Papua. Sedianya oknum aparat menghormati asas praduga tak bersalah, bukan
langsung memberondong dengan peluru. “Mengapa langsung ditembak, tidak diproses
sesuai hukum yang berlaku?” kata Yusak Pakage.
Dance Marisan, Ketua Gerakan
Mahasiswa Kristen Indoensia (GMKI) Cabang Papua mendesak agar Kapolresta
Sorong, AKBP Gatot Aris dicopot. “Perayaan 1 Mei untuk Papua Tanah Dama. Polisi
malah tergesa-gesa. Copot saja Kapolresta Sorong,” kata Dance. (Jubi/Timoteus Marten)
Sumber : www.tabloidjubi.com
No comments:
Post a Comment