Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua 9PGBP), Pdt. Duma Socratez Sofyan Yoman (Foto: Oktovianus Pogau/SP)
Oleh : Socratez Sofyan Yoman*
Pada tanggal 26 Juni 2012, saya bertemu dengan seorang teman wartawan
asing di Jakarta. Dalam percakapan saya dengan teman wartawan hampir
satu jam itu, saya bertanya. Kapan Anda berkunjung ke Papua untuk
mendapat informasi langsung di lapangan di Papua? Teman wartawan ini
menjawab: “Kami dilarang pemerintah Indonesia berkunjung ke Papua. Saya
sudah mengajukan permohonan ijin ke Papua beberapa kali tapi pemerintah
Indonesia menolak permohonan saya.” Saya bertanya lagi. Mengapa
Pemerintah Indonesia melarang dan tidak diberikan ijin kepada Anda
berkunjung ke Papua? Jawabnya: “Pemerintah Indonesia mengatakan bagi
warga asing tidak ada jaminan keamanan di Papua. Nanti OPM menculik
dan membunuh kami orang asing.”
Setelah saya mendengar jawaban ini, saya tertawa. Teman ini kaget dan
bertanya. Mengapa Socratez tertawa? Saya menjawab: Saya tertawa
karena jawaban pemerintah Indonesia itu sangat lucu dan tanpa alasan
yang jelas. Jawaban seperti ini bukan satu kali ini saja, namun setiap
wartawan asing yang saya temui selalu mengatakan alasan yang sama.
Saya mengatakan kepada teman wartawan ini, kalau demikian, pertanyaan
kita semua ialah Pemerintah Indonesia sedang menyembunyikan apa di
Papua? Pemerintah Indonesia sedang melakukan apa terhadap orang Papua?
Wartawan asing dilarang masuk ke Papua berarti ada sesuatu tidak
beres yang disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tapi sebaliknya,
kalau memang Pemerintah Indonesia selama 50 tahun telah membangun dan
memajukan orang Papua, sebaiknya wartawan asing diijinkan masuk ke Papua
untuk memotret hasil-hasil kemajuan dalam bidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi, kebudayaan dan seluruh aspek pembangunan di Papua
supaya membantu dipublikasikan kepada masyarakat Internasional.
Tapi, yang pasti dan jelas: Orang Papua bukan penculik. Orang Papua
bukan pembunuh. Orang Papua adalah manusia-manusia yang selalu cintai
damai dan menghormati martabat manusia sejak dulu. Contoh: Sebelum
Pemerintah Indonesia menduduki dan menjajah Papua melalui Perjanjian New
York 15 Agustus 1962; penyerahan secara administratif oleh PBB kepada
Indonesia pada 1 Mei 1963 dan kepalsuan PEPERA 1969; sejak 5 Februari
1855 sudah ada orang kulit putih, orang asing dari Eropa datang ke
Tanah Papua sebagai Missionaris, Utusan Injil dari Eropa, yaitu: Johann
Gotlob Geisler & Carl William Ottow. Dihitung dari kedatangan
kedua orang asing ini ke Papua sejak tahun 1855, berarti 107 tahun
sebelum Pemerintah Indonesia mencaplok (menganeksasi) wilayah Papua ke
dalam Indonesia tahun 1962, orang-orang asing sudah ada bersama orang
asli Papua di Tanah Papua.
Johann Gotlob Geisller dan Carl William Ottow tiba di Tanah Papua
pada hari Minggu pagi, tanggal 5 Februari 1855, tepatnya di Teluk Doreh
Mansinam, Manokwari. Mereka berkata, “Di dalam nama Tuhan Yesus
Kristus, kami menginjakkan kaki di tanah ini!” Dua orang asing ini
membawa Injil Yesus Kristus.
Tanggal 5 Februari 1855 adalah hari yang sangat bersejarah dan juga
merupakan tonggak sejarah suci dan mulia di mana hadirnya kabar baik:
Injil Yesus Kristus yang memulai peradaban orang asli Papua. Injil
adalah kekuatan Allah yang membebaskan manusia dari belenggu dosa dan
membebaskan manusia dari penindasan dan kolonialisme. Injil menghargai
hak asasi manusia, mengangkat martabat manusia, merobohkan
benteng-benteng diskriminasi dan eksploitasi hidup manusia, menghapuskan
tetesan air mata dan cucuran darah orang-orang kecil yang tertindas.
Injil Yesus Kristus adalah Injil yang sempurna milik semua umat manusia,
semua suku dan bangsa.
Dua misionaris dari Jerman itu datang ke Tanah Papua, bertemu,
bersahabat, tinggal, hidup bersama, makan bersama, menghargai,
menghormati hak hidup, mengakui martabat, dan mengangkat kesamaan
derajat orang Papua. Tidak pernah dan belum pernah melukai orang Papua
secara fisik maupun mental. Ottow dan Geissler benar-benar menjadi
sahabat setia orang Papua dalam suka dan duka. Tidak ada perbedaan dan
jurang pemisah. Karena ada kasih, keadilan dan kesadamaian yang
bersumber dari Salib diwartawan.
Memahami sikap, perilaku dan kebijakan Pemerintah Indonesia yang
melarang bagi para wartawan asing berkunjung ke Papua sekarang ini
sangat kontradiktif dengan misi Gereja dan nilai-nilai hidup yang ada
di tengah-tengah orang Papua. Larangan itu lebih tepat adalah
merupakan kebijakan resmi Negara. Larangan ini dinilai sebagai
pencerminan dari (The Generative Politic) yang ditulis pak Nugroho
tahun lalu (The Jakarta Post, 10 Juli 2012). The generative politic
menurut pak Nugroho adalah pandangan-pandangan politik dan
anggapan-anggapan yang melumpuhkan, menghancurkan, dan memperburuk
kondisi masyarakat Papua yang dilaksanakan mendasari kebijakan publik
oleh pemerintah Indonesia di Papua selama 50 tahun. Untuk
menyembunyikan keadaan sangat buruk, kemiskinan telanjang dan kejahatan
negara dari tahun ke tahun yang dialami rakyat Papua, pemerintah
Indonesia melarang dan tidak mengijinkan para wartawan asing berkunjung
ke Papua.
Untuk mengubah paradigma dan kebijakan pemerintah Indonesia sudah
berlangsung hampir lima dekade ini membutuhkan perjuangan yang panjang.
Seperti William Wilberforce, Anggota Parlemen Inggris Tahun 1780,
hampir 330 tahun lalu yang memperjuangkan penghapusan perbudakan seorang
diri di Parlemen Inggris selama 20 tahun, pada saat usia tua dan masa
pensiun mengatakan, “Saya memahami bahwa mengubah opini politik publik
tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan waktu beberapa
dekade. Lagi pula, kesabaran dan ketekunan dalam mewujudkan tujuan
keadilan dan reformasi merupakan jalan menuju suatu perubahan permanen
dan kemenangan akhir!”
Lebih jauh, Wilberforce dalam perjuangannya untuk menegakkan
keadilan, mengungkapkan pesan-pesan indah sebagai berikut: (1)
Kekristenan adalah kunci bagi keadilan dan kesejahteraan bangsa. (2)
Hanya orang-orang yang benar-benar bertobat yang dapat dipercaya untuk
memperjuangkan kedamaian dan kesejahteraan umum. (3) Bahwa satu-satunya
pengharapan sejati bagi perbaikan bangsa terletak dalam Kekristenan,
maka saya tidak mempercayai ideologi apa pun yang bertentangan dengan
iman Kristen. (4) Jika kemajuan fisik dan mental menjadi satu-satunya
kriteria bagi suatu bangsa, maka bangsa tersebut akan kehilangan rohnya.
(5) Tirani dilakukan dengan alasan kestabilan sehingga penindasan
semakin menjadi-jadi. (6) Janji-janji Firman Allah telah meyakinkan
saya bahwa suatu pencarian keadilan yang didasarkan pada takut akan
Allah tidak akan menimbulkan anarki, dan sejarah membuktikan bahwa Dia
benar. (7) Biarlah saya senantiasa mengingat bahwa kewajiban saya selama
di dunia bukanlah untuk bermeditasi, melainkan untuk bertindak. (8)
Yang menjadi dorongan bagi saya adalah pandangan mengenai keberadaan
manusia: Suatu pandangan yang berasal dari bagian pembukaan Kitab
Kejadian yang mengungkapkan bahwa manusia diciptakan menurut gambar
Allah [Kejadian,1:26-28].
Kalau larangan itu pemerintah Indonesia menghubungkan dengan
penyanderaan di Mapenduma tahun 1996, penyendaraan warga Belgia di
Ilaga bulan Juni 2001 dan dibebaskan Agustus 2001, penembakan turis
warga Jerman, Pieper Dietmar Helmut yangdikatakan ditembak oleh Orang
Tak Dikenal OTK) di Pantai Base G pada 29 Mei 2012. Dan berbagai
bentuk kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua hampir 50 tahun yang
patut dipertanyakan di sini adalah: (1) Apakah benar itu dilakukan oleh
orang Papua? (2) Kalau itu benar, siapa yang berdiri di belakang
mereka? Siapa yang mendapat keuntungan?
Waktu saya berbicara dengan Jenderal Maruf, Wakil Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) di Jakarta pada pertengahan bulan April 2013,
saya mengatakan: “ Pak Maruf, di Papua itu ada banyak OPM binaan. Coba
pak bayangkan, apakah ada mesin jahit di hutan sehingga ada bendera
bintang Kejora yang baru dikibarkan di hutan-hutan? Apakah ada mesin
jahit di hutan sehingga ada yang menjahitnya di hutan? Apakah ada toko
kain di hutan-hutan sehingga kainnya di beli dan dijahit menjadi Bendera
Bintang Kejora? Kemudian bagaimana OPM itu mendapatkan senjata dan
amunisi begitu banyak? Sementara di seluruh Airport pintu masuk dan
keluar pesawat dan kapal di Papua dijaga ketat dan semua barang
diperiksa oleh aparat keamanan Indonesia yang bertugas. Pak Maruf
menjawab: “ Saya baru tahu sekarang ada juga OPM binaan di Papua.”
Menjadi terang bagi para pembaca opini ini, bahwa penculikan dan
penembakan yang dilakukan di Papua itu bukan OPM murni tetapi OPM
binaan. Kalau para pembaca ada yang sudah membaca buku saya berjudul: “
Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat”
(2007) yang dilarang Pemerintah Indonesia melalui Kejaksaan Agung, pada
halaman 255-256, saya mengulas secara singkat: OPM Sejati dan OPM
Binaan Militer dan Polisi Indonesia. Jadi, kekerasan dan kejahatan
terhadap kemanusiaan, stigma orang Papua separatis, makar dan OPM itu
sengaja diciptakan sebagai mitos dan dipelihara dan dipupuk supaya Papua
itu menjadi daerah konflik dan tertutup bagi orang asing ke Papua,
daerah latihan militer, untuk naik pangkat, untuk dapat uang banyak dan
menambah pasukan dengan alasan ada separatisme di Papua. Sementara
Ottow dan Geissler tidak pernah memberikan stigma orang Papua seperti
separatis, makar, OPM, primitif, kanibal, terbelakang, terbodoh,
termiskin, tertinggal, belum maju.
Pengamat intelijen AC Manulang, Mantan Direktur Badan Koordinasi
Intelijen Negara (Bakin) mengakui: “Bukan tidak mungkin dan jarang
terjadi jika berbagai kerusuhan di berbagai daerah terlepas dari aktor
intelektual dari Jakarta. Sangat mungkin kerusuhan ini didesain dari
Jakarta dengan berbagai tujuan. Sangat tidak logis, aparat kepolisian
tidak bisa memanfaatkan tokoh lokal yang sangat berpengaruh dan meminta
warga agar tidak lepas kendali. Rekayasa kerusuhan SARA juga akan terus
dipelihara di Maluku maupun kawasan Indonesia bagian Timur. Sekarang
mulai merambah ke wilayah Barat. Berdasarkan informasi yang saya
dapatkan, situasi Ambon, Lampung, Poso maupun Papua masih terus
bergejolak. Ini tidak lepas dari kepentingan elit di Jakarta.” (Sumber:
Indopos: Minggu, 04 November 2012).
Pertanyaan lain adalah (1) Mengapa OPM tidak pernah menculik orang
asing sebagai misionaris yang bertugas bertahun-tahun di daerah-daerah
terpencil di pedalaman-pedalaman Papua yang jauh dari kota? (2) Mengapa
OPM tidak pernah menculik para turis asing yang datang ke Papua
pedalaman perorangan maupun rombangan? (3) Mengapa OPM tidak culik para
transmigran yang ada di dekat-dekat hutan yang jauh dari kota hampir
merata di Papua seperti: di Sorong, Manokwari, Nabire, Merauke,
Keerom-Arso?
Ada keprihatinan yang dalam bahwa kekerasan Negara terus terjadi di
Tanah leluhur orang Papua. Kenyataan ini membuktikan pemerintah dan
aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua telah gagal melindungi dan
mengindonesiakan penduduk orang asli Papua. Keprihatinan ini sudah
disampaikan oleh orang Papua dalam (a) 11 rekomendasi Musyawarah Majelis
Rakyat Papua Dan Masyarakat Asli Papua pada 9-10 Juni 2010; (b)
Komunike bersama pimpinan Gereja pada 10 Januari 2011; (c) Deklarasi
teologi para pemimpin Gereja 26 Januari 2011; dan (d) pesan profetis
Pimpinan Gereja Papua kepada Presiden RI, 16 Desember 2011 di Cikeas,
Jakarta.
Keprihatinan yang sama juga disampaikan oleh negara-negara anggota
PBB (Amerika Serikat, Inggris, Swiss, Kanada, Norwegia, Korea Selatan,
Jepang, Prancis, Jerman, Meksiko, Selandia Baru, Australia, Spanyol dan
Italia) dalam Sidang HAM PBB (UPR) 23 Mei 2012 di Genewa, Swiss.
Berangkat dari kenyataan itu dalam opini ini ditegaskan bahwa
pemerintah dan aparat keamanan Indonesia sebagai bagian dari masalah
kekerasan ini; yang Negara ciptakan, pelihara, biarkan untuk
melegitimasi kekerasan-kekerasan selanjutnya di Tanah Papua dan
memanfaakannya untuk memperkuat institusi keamanan. Alasan para
wartawan asing dilarang ke Papua sudah mejadi jelas bagi para pembaca
opini, yaitu: supaya mereka tidak mengetahui dan membongkar “borok”
kekerasan Negara terhadap kemanusiaan, kemiskinan telanjang dan
pemusnahan etnis penduduk asli Papua selama 50 tahun.
*Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan
Gereja-gereja Baptis Papua. Juga penulis buku: Pemusnahan Etnis
Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Tanah Papua Barat;
Suara Bagi Kaum Tak Bersuara; Integrasi Belum Selesai; West Papua:
Persoalan Internasional; Otonomi Khusus Papua Telah Gagal; Saya Bukan
Bangsa Budak; Apakah Indonesia Menduduki dan Menjajah Bangsa Papua?
No comments:
Post a Comment