<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Ingatan dan Peringatan

Ingatan dan Peringatan

Taman Bunga Bangsa Papua
Suatu hari saya melintasi jalan di dekat Terminal Oyehe, Nabire. Di samping terminal itu ada sehamparan tanah lapang, dengan tiang lampu yang bengkok, dan tiga kuburan dengan kayu salib yang lapuk sebagai tandanya. Tentang tanah lapang ini kesanku, sama sekali tidak dirapikan sebagai taman yang menarik hati bagi pelintas untuk singgah. Sangat jelas, rumput ilalang tumbuh liar dan tinggi. Puing-puing bangunan masih berserakan.
Jadilah, kuburan itu dikitari oleh sebuah keadaan yang tidak tertata dan terkesan kasar. Tapi, mungkin memang begitulah keadaan pada mulanya. Atau keadaan yang mendekati aslinya yang memang sengaja dipertahankan.
Tempat itu dinamai Taman Bunga Bangsa Papua. Hanya saja, jangan harap di situ akan mendapati bunga dalam pengertian sebenarnya. Dalam tafsir saya, bunga itu adalah tiga makam orang muda Papua yang meninggal ditembak oleh aparat negara Republik Indonesia dalam tragedi Nabire berdarah pada Februari-Maret 2000.
Selepas 13 tahun, boleh jadi keadaan di taman itu belum banyak diubah. Tiang besi tempat Bintang Kejora berkibar masih tinggal bengkok di tengah taman. Kuburan itu pun masih begitu saja. Tidak disemen. Salib kayu masih tetap juga, hanya menjadi lapuk.
Artinya, dalam rentang waktu 13 tahun sejak peristiwa Nabire berdarah terjadi, masih ada tanda fisik yang relatif tetap. Ada yang masih hadir sejak 13 tahun lalu. Bukan dalam rupa bayang-bayang, tetapi secara nyata. Tentu saja, tanpa bisa disangkal sedikitpun, kenyataan ini sangat memudahkan orang-orang Papua, yang memiliki kepentingan dengan peristiwa sejarah 13 tahun lalu, untuk menjaga memori mereka.
Memang, peristiwa sejarah dimaksud, yang terjadi di atas tanah itu, sudah lesap. Namun, bekas-bekas peristiwa itu masih ada. Kita masih bisa menyaksikan tiang yang bengkok itu. Juga kuburan yang sama. Jejak-jejak historis itu menjadi simpul yang menautkan orang-orang Papua dengan masa lalu.  
Mungkin orang yang pada saat peristiwa itu terjadi ada di situ masih bisa mengenali sisa-sisa yang lain. Tapi, yang juga tidak kurang penting adalah orang-orang yang 13 tahun terlibat dan kini masih bisa bercerita secara utuh. Mereka masih bisa dijumpai. Narasi dari orang-orang itu masih hidup dan relatif utuh karena langsung dari tangan pertama. Mereka bisa bercerita dengan bobot keterlibatan sebagai saksi sejarah. Baik untuk dipikirkan: masih berapa lama lagi mereka bisa memberi kesaksian akan peristiwa itu? Hanya sebagai sebuah usulan, mungkinkah dibikin sebuah dokumentasi kesaksian mereka dalam video yang kemudian bisa diwariskan kepada orang-orang yang lebih muda.
Lalu, secara tiap tahun peristiwa itu dikenang. Orang-orang di Nabire berkumpul di taman itu pada 1 Desember untuk ibadah. Mereka melakukan tabur bunga di atas tiga pusara itu. Kemudian ada orang-orang, antara lain pendeta dan tokoh adat, diberi kesempatan untuk menyampaikan pemaknaan atas peristiwa Nabire berdarah. Dengan memaknai satu peristiwa, peristiwa itu jelas menjadi lebih berbobot daripada peristiwa yang lain. Orang-orang Papua juga lalu memiliki alasan yang selalu dibarukan untuk membangun ikatan dengan kejadian itu dan mengenangnya.
Melalui tindak memaknai itu juga, orang-orang Papua membangun perspektif tertentu untuk membaca peristiwa itu. Di samping itu, peringatan tahunan itusaya pernah satu kali ikut menghadirinyamenjadi ruang untuk mengembangkan kesadaran kolektif, dengan berefleksi pada peristiwa itu. Dalam pemahaman saya, orang-orang Papua memiliki ritus tahunan yang bisa digunakan untuk menyegarkan memori kolektif itu.
Di samping itu, peristiwa tahunan itu juga berpeluang untuk menyuburkan solidaritas internal orang-orang Papua berdasar pada identitas yang mereka bangun dalam peringatan itu.
Dalam ingatan saya, ketika mengikuti peringatan pada 1 Desember di Nabire itu, orang-orang Papua diajak untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai layaknya bangsa Israel yang ditindas oleh penguasa lalim Mesir seperti tertulis dalam Perjanjian Lama. Dalam kata lain, jika dikatakan secara lugas, orang Papua adalah kaum tertindas atau terjajah yang sedang menanti untuk dibebaskan. Yahwe mengutus Musa untuk orang Israel. Ada seorang pembebas yang dikirim.
Pengidentifikasian sebagai bangsa tertindas itu tidak melulu dilandaskan pada satu peristiwa di Nabire, melainkan pada sejarah yang telah berlangsung sebelumnya. Orang Papua sudah memiliki konteks historis dan politis, yang lengkap dengan pelanggaran HAM dan ragam kekerasan militeristik, untuk menempatkan peristiwa di samping Terminal Oyehe itu.
Meski tertindas, orang-orang Papua pun diajak untuk melihat diri secara positif, bahwa mereka telah menghadirkan kejayaaan untuk orang lain. Bangsa Papua, dalam keadaan terjajah pun, bisa memberkati bangsa lain.
Dalam peringatan itu, secara spesifik kisah kematian tiga bunga itu tidak dikisahkan ulang. Tidak seperti kematian Yesus Kristus yang didramakandiperagakan ulangpada upacara Jumat Agung. Tidak ada sebuah film yang diputar ulang. Sebagai orang yang baru datang di Nabire jauh setelah peristiwa itu, saya tidak bisa persis mengerti bagaimana kronologi kematian itu terjadi. Siapa-siapa yang menjadi aktor pun tidak disebut secara gamblang.
Untuk saya, sangat jelas upacara itu tidak berhasil sepenuhnya memperingati. Namun, di sisi yang lain, peringatan itu selalu penting untuk membawa kembali orang Papua menyadari sejarahnya dan mendalamkan identitas yang mereka bangun. Seperti ungkapkan juga, peringatan itu juga amat vital bagi proses konstruksi solidaritas di antara orang-orang Papua. Dan, moment-moment seperti itu juga berguna untuk membangun klasifikasi di antara orang Papua sendiri: siapa yang berada di taman itu dan ikut terlibat aktifatau concern dengan peristiwa itudan siapa yang tidak berada di situ dan tidak menjadi bagian darinya. Singkatnya, kita bisa mengenali outsider dan insider atau in-group dan out-group.

 Johanes Supriyono adalah penulis buku Semiotika dan Melangkah ke Dunia Luas (Pengulatan Anak-anak Papua). Alumnus Magister Universitas Indonesia itu penulis kolom di www.majalahselangkah.com. Ia bisa dihubungi melalui: hansprie@gmail.com
 
Share this article :

No comments:

 
Copyright © 2011. Tuan Tanah Papua News . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger