Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) mengundang Gubernur Papua Lukas Enembe dan jajarannya ke Istana Negara
guna membahas persoalan di Provinsi Papua. Pada pertemuan itu, SBY menekankan perluasan Otonomi
Khusus, beliau
sebut Otsus Plus.
Diharapkan bulan Agustus drafnya sudah
selesai. Menurut Presiden, tujuannya adalah
menjawab berbagai persoalan Papua. "Persoalan
Papua harus
tuntas sebelum beliau mengakhiri masa jabatan," kata Lukas, Gubernur Provinsi Papua, usai pertemuan dengan Presiden di
Jakarta, seperti dikutip Kompas.com.
Isu Otsus Plus
Papua ditanggapi dari berbagai pihak diantarannya datang dari Amiruddin al Rahab. "Dengan
adanya dukungan politik berupa regulasi dan anggaran, pemerintah daerah Papua
diharapkan mampu memanfaatkan potensi dan peluang yang ada," dikutip www.vivanews.
Wacana Otonomi Khusus Plus juga
diharapkan tidak bersifat elitis dan menjadi alat tawar-menawar politik, kata Amiruddin
al Rahab selaku juru bicara Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat
(UP4B) dan Poengky Indarti dari Imparsial, Jumat (3/5), di Jakarta. Pembenahan
regulasi dirasa perlu karena ada beberapa yang tidak pas dan membawa manfaat.
Salah satunya adalah Pilkada langsung yang tidak tepat untuk
masyarakat Papua dengan suku-suku yang sangat kuat.
"Belum
jelas apa yang dimaksud Presiden dengan Ptsus Plus ini. Kita semua seharusnya
mengacu pada UU Otsus Papua yang dengan susah payah kita telah undangkan. Itu
yang harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen," kata Ketua Pengawasan
Otsus Papua dan Aceh DPR, Priyo Budi Santoso. (Kompas, 30 April 2013).
Dari tanggapan tersebut, terbukti bahwa kebijakan
pemerintah (Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono) bersama jajarannya tentang persoalan
Papua dipolitisasikan. Politisasi karena kebijakannya dilakukan oleh SBY,
Gubernur Provinsi Papua, dan Velix Wanggai, bukan atas usul masyarakat Papua,
seperti UU OTSUS Tahun 2001, Pasal 77.
Hal ini merupakan sebuah persekongkolan yang dilakukan
oleh para penguasa, untuk masih tetap menguasai bumi Papua. Memperpanjang
eksklasi kekerasan di Papua melalui (merubah/mengkontruksi kembali) UU Otsus tahun
2001 menjadi Otsus Plus. Memperpanjang dengan nama baru Otsus Plus, ada
indikasi politis, ekonomis, proyek militerime dan penguasaan di atas bumi
Papua.
Tanggapan dari Dewan Adat
Papua (DAP) melalui Thaha Alhamid (Sekjend DAP), Otsus
yang berlaku di Tanah Papua sejak 2001, adalah desentralisasi asimetris
berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2001. Sesuai amanah UU itu sendiri, setiap
perubahannya mesti dilakukan atas usul rakyat Papua melalui MRP dan DPRP.Memang, adalah fakta bahwa tahun 2008, tambah Thaha Alhamid, sesungguhnya Pemerintah sudah mengubah UU Otsus ini dengan keluarnya Perpu No. 1 Tahun 2008. Lalu muncul Inpres Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan Papua yang terkapar sebelum berjalan, muncul kemudian Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) sebagai intervensi kebijakan percepatan, karena pemerintah sadar betapa Otsus belum efektif menjawab masalah Papua.
Pemerintah harus lebih membuka diri, kalau mau memberi nilai plus kepada Otsus Papua. Kenapa tidak buka pintu dialog saja? Toh selama ini, dialog sudah menjadi point tuntutan rakyat. Jalan ini malah berpotensi menjawab berbagai soal dan jauh lebih elegan.
Marinus Yaung, pengamat Hukum Internasional mengatakan, "Analisa saya Otsus Plus
itu lebih kepada munculnya sejumlah regulasi dari pemerintah pusat yang lebih
bersifat sektoral khususnya dalam peningkatan percepatan pembangunan ekonomi
masyarakat lokal Papua, bukan dalam draf UU baru pengganti UU No 21 Tahun 2001."
***
Pandangan dan
tuntutan rakyat Papua sampai saat ini adalah Otsus gagal dan sudah dikembalikan
ke pemerintah RI di Jakarta, melalui aksi damai di Jayapura pada 2004 silam. Masyarakat
Papua saat ini tidak meminta kepada MPR untuk memperjuangkan UP4B, Otsus Plus,
melainkan rakyat Papua meminta kepada MRP untuk dialog.
Dengan demikian,
urgensinya saat ini di Papua adalah dialog, bukan Otsus Plus. Persoalan
mendesak yang diselesaikan oleh pemerintah pusat dengan rakyat Papua di Papua
adalah dialog. Untuk mengakhiri persolan yang semakin hari semakin meningkat,
sampai pada kris kemanusiaan solusinya adalah dialog yang diperjuangkan oleh
Jaringan Damai Papua (JDP).
Upaya
pemerintah pusat dan pemerintah daerah Provinsi Papua merekontruksi kembali
atas UU Otsus Tahun 2001, menuai protes dari rakyat Papua. Kontradiksi-kontradiksi
atas kebijakan pemerintah pusat terhadap "Otsus Plus".
Rakyat Papua
minta Referendum, Pemerintah Pusat memberikan Otsus. Rakyat Papua Menolak militer
di Papua, Pemerintah mengirim Militer baik organik maupun non organik. Rakyat Papua
minta dialog, pemerintah pusat menyerahkan UP4B dan Otsus Plus. Rakyat Papua
menolak Presiden datang ke Papua, SBY bersikeras untuk pada bulan Agustus 2013
datang ke Papua.
Kontradiksi-kontradiksi
atas harapan rakyat Papua dan kebijakan Pemerintah Pusat yang menyebabkan
ekskalasi kekerasan di Papua semakin hari semakin meningkat. Karena rakyat
Papua tidak menerima atas kebijakan pemerintah pusat yang berbau tendensi
Politis, Ekonomis (kepentingan Kapitalisme-Imperaslis penguasa dibawa kendali
Amerika), proyek militerisme di Papua, program tersebut akan gagal. Dana
pemerintah RI untuk mengerjakan proyek tersebut hilang di tengah jalan,
sehingga yang ujung-ujungya adalah pemusnaan
orang asli Papua di tanah Papua.
Mengakhiri
ulasan singkat ini, sekali lagi pandangan saya bahwa Otsus Plus bukan urgensi
saat ini bagi rakyat Papua, melainkan dialog menjadi agenda mendesak yang
diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia dengan Rakyat Papua. Karena rakyat Papua
mengusulkan dialog, bukan Otsus Plus.
Fransiskus Kasipmabin adalah
Mahasiswa Papua, Kuliah di Yogyakarta
No comments:
Post a Comment