Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI Papua (Foto: majalahselangkah.com)
PAPUAN, Jayapura — Gereja Kemah Injil (Kingmi)
Papua menyatakan keprihatinannya terkait ruang kebebasan berekspreasi
yang semakin ditutup, serta sepak terjang aparat keamanan di Papua yang
semakin tidak berubah dari waktu ke waktu.
“Kami sebagai Gereja dan pimpinan umat menyatakan keprihatinan kami,
mengamati sepak terjang petinggi keamanan Negara dewasa ini yang belum
berubah, dan masih menutup ruang kebebasan bagi masyarakat untuk
mengemukakan pendapat seperti yang terus dipertontonkan di Tanah ini,”
kata Ketua Sinode Gereja Kingmi Papua, Pendeta Dr. Benny Giay, dalam
siaran pers yang dikirim ke redaksi
suarapapua.com, Selasa (25/6/2013) siang.
Menurut pendeta Giay, semua sepak terjang lembaga keamanan, yakni
TNI/Polri telah menunjukan bahwa kehadiran mereka sedang bermain di
ruang bebas.
“Ini persis seperti zaman orde baru yang menggunakan kekuasaannya
untuk menggagahi masyarakat sipil, khususnya orang asli Papua. Aparat
TNI/Polri juga secara meyakinkan terus menyuburkan aspirasi Papua
merdeka dengan tidak memberi ruang untuk mengeluarkan pendapatnya.”
“Yang pada gilirannya, TNI/Polri akan menggunakan kekuasaannya untuk
menghabisi orang asli Papua dengan pasal-pasal makar. Atau, justru
dijadikan sebagai momentum untuk menggunakan senjata modern yang telah
dibeli dengan uang rakyat Papua, sehingga ‘The winner takes it
all’,”pungkasnya.
Menjelang 1 Juli mendatang, Gereja Kigmi Papua juga mengeluarkan
himbauan, pertama, agar Kapolda Papua dan jajarannya merubah citranya di
depan publik di tanah Papua.
“Kesempatan 1 Juli ini kami harap bisa Polisi jadikan sebagai
momentum untuk menyatakan bahwa pihaknya memang ‘polisi yang demokratis’
yang benar-benar mengedepankan toleransi, toh nasionalisme Papua, yang
menurut TNI/Polri separatisme tidak bisa dihadapi dengan memenjarakan
atau menembak dan menculik aktivis dan ideologinya sebagaimana yang
dilakukan TNI/Polri selama ini,” ujar Giay.
Menurut Giay, kiat-kiat yang dipakai TNI-Polri menghadapi
nasionalisme Papua seperti ini hanya dipakai oleh aparat yang tidak
berpendidikan, karena nasionalisme tidak bisa dihapus dengan otot. Ia
hanya bisa diatasi oleh otak dan hati (nurani yang humanis dan bukan
otoriter).
Kedua, Gereja Kigmi Papua juga melihat aparat yang dilakukan
TNI/Polri hanya merupakan pengulangan dari perilaku aparat keamanan
penjajah Belanda terhadap gerakan nasionalis Jawa dan Sumatera tahun
1919-1930an.
“Perilakunya sama dengan watak aparat keamanan dewasa ini di Tanah
Papua terhadap Nasionalis Papua, sehingga melalui media kami serukan dan
menghimbau agar pihak TNI-Polri membuktikan dirinya bahwa TNI-Polro
tidaklah sama dengan tentara dan Polisi Belanda di Jawa atau Sumatera
“tempo doeloe”, dengan mengedepankan dialog dan memberi ruang untuk
orang Papua bisa mengemukakan pendapatnya, sebagai pemenuhan dari salah
satu hak asasi manusia, asalkan tidak tidak menimbulkan
tindakan-tindakan anarkhis,” tambah pendeta Giay.
Ketiga, kepada masyarakat Papua, Gereja Kingmi Papua juga menghimbau
agar mawas diri, dan dapat menyampaikan tuntutan dan aspirasi supaya
tetap menggunakan cara dan pendekatan dalam koridor adat, iman, HAM dan
demokrasi.
“Sekali lagi lewat media ini kami menghimbau agar masyarakat Papua
lewat kesempatan-kesempatan seperti 1 Juli atau 1 Desember atau momen
sejarah lainnya supaya bangkit menunjukkan kepada para pihak bahwa kami
bangsa Papua adalah bangsa yang beradab dan bahwa “di atas langit masih
ada langit”, dan bahwa kekerasan dan rasisme (seperti yang ditunjukkan
oleh masyarakat Indonesia terhadap Papua selama ini dan saat Persipura
bermain di Jawa) sudah seharusnya ditinggalkan karena ia sudah
ketinggalan jaman,” tutup Giay.
OKTOVIANUS POGAU
Sumber: http://suarapapua.com
No comments:
Post a Comment