Jenasah Mako Tabuni dimakamkan. Foto: Ist.
(untuk mengenang kembali setahun kematian sang pahlawan,
Musa Mako Tabuni, pada 14 Juni 2012)
Malam masih
mengepakkan sayapnya, menyelimuti kota tua di pantai utara Papua, kota
Hollandia. Kota tua itu punya sejarah, menjadi pelaku sejarah, sekaligus menjadi
saksi bisu atas serentetan peristiwa sejarah yang mengalir bagai
air.
Subuh itu tepat
pada hari Kamis. Udara sepi, tidak berseliweran sebagaimana biasa setiap pagi. Di Abepura, seputaran lingkaran Abe, Ekspo, Waena,
semua jalanan masih sepi. Baru pukul 4 pagi. Begitu juga dengan kota Jayapura
yang terletak tepat di bibir pantai utara.
Sentani juga
begitu tenang. Ketenangan dan keheningan itu bertentangan dengan jiwa sebutir
peluru yang sedang berlari kencang. Ia terus berlari, berlari dan berlari.
Nafasnya tersendat-sendat.
Keringat
bercucuran jatuh dari dahinya. Baju kumal yang ia kenakan telah basah bermandi
keringat. Di sana, di tubuh peluru itu, ada percikan
darah segar yang masih menempel, yang menjadi
begitu cair kala berpadu dan berbaur dengan keringatnya yang kian deras. Ia
telah jauh berlari.
Sementara itu,
di komplek Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Fajar Timur Abepura, seorang
imam sedang duduk di dalam ruangan. Temaram cahaya sebuah lilin berukuran besar
menerangi ruangan itu. Pada dinding ruangan itu tampak beberapa lukisan rohani.
Ada lukisan Tuhan Yesus. Bunda Maria. St. Fransiskus Assisi. Ada gambar
Merpati, lambang Roh Kudus.
Pastor Jhonannes Philipus Kegou, asal Kepugei, Pihaihe, Pegunungan Tengah Papua, Selatan Pegunungan Mapiha, itulah namanya.
Pastor itu sedang meditasi. Tangannya dengan ringan ia letakkan di atas kedua
pahanya. Nafasnya teratur bahkan terlihat tidak bernafas, saking tenangnya. Di
depannya, Alkitab telah terbuka. Hanya badannyalah ia di dalam ruangan itu.
Rohnya, jiwanya, sedang berpadu dalam alam sana, menimba banyak nilai dari alam nilai,
menimba banyak kebijaksanaan dari alam kebijaksanaan. Menimba banyak ketenangan
dari alam ketenangan, menimba banyak kesejukan untuk hati dari alam kesejukan.
Tiba-tiba, pastor kembali mengatur pernafasan. Sesaat kemudian, ia kembali bernafas normal,
dengan mata tetap terpejam.
Sesaat setelah
detik itu, terdengar derap kaki tergesa-gesa menaiki tangga rumah, dan di dalam
ruangan itu, Pastor Kegou telah tersenyum
menyambutnya, jauh sebelum pintu diketuk.
"Silahkan
masuk nak..."
Sesaat
kemudian, pintu diketuk. Sekali lagi, Pastor Kegou mengulangi kata-katanya. Pintu perlahan terbuka, dan masuklah peluru itu.
Pastor Kegou
mengamati tubuhnya. Nafasnya masih tersendat-sendat.
"Atur
nafas anakku.."
"Maaf Pastor. Aku harus cepat mengatakan apa yang ingin aku sampaikan. Tolong
lindungi aku Pastor. Mereka sedang mengejarku."
"Siapa
yang mengejarmu?"
Alis mata
Pastor berkerut. Ia menatap sebutir peluru itu dalam-dalam, kemudian matanya
berhenti pada noda darah yang tampaknya masih belum mencair dan hilang oleh
keringat, lantaran telah membeku.
"Mengapa
ada noda darah itu di tubuhmu?"
"Maaf Pastor. Justeru karena itu aku melarikan diri kepada Pastor. Tolong lindungi aku."
"Aku
dipaksa melakukannya Pastor, dan kemudian, beruntun butir peluru
itu menceritakan kisahnya hingga ia sampai pada Pastor."
"Pastor, pertama, baiklah aku katakan siapa aku." Dan, mulailah ia menceritakan semua yang dialaminya kepada Pastor yang mendengarkan dengan seksama. Ini
ceritanya:
Aku adalah
sebuah peluru. Dibuat dari biji besi yang berada jauh di dalam tanah tempat
kita tinggal ini, tepat di bawah gunung Salju, Erstberg.
Aku dikeruk
oleh sebuah alat raksasa. Kemudian, aku dilebur di dalam sebuah wadah panas.
Aku menjadi seperti lumpur. Setelah menjadi seperti lumpur, aku dialirkan
melalui sebuah pipa, hingga aku sadar, aku sedang berada pada sebuah kapal
raksasa.
Aku adalah biji
besi dari tanah ini. Kapal itu membawaku dalam bentuk bubur, seperti lumpur.
Kemudian aku tiba di sana, di sebuah kota yang tidak aku kenal. Aku dengar, orang-orang berkulit merah
mengatakan, tanah itu Amerika. Ya, aku ingat, itu Amerika Serikat. Aku telah
tiba di Amerika Serikat.
Aku tidak tahu,
berapa hari kami berlayar. Aku tidak mengenal siang dan malam di dalam kapal,
karena aku diberi penerang, dan diatur temperatur suhunya, tak dapat bergerak,
dan tidak dapat melarikan diri, kecuali pasrah.
Kemudian,
sesaat setelah aku tiba di pelabuhan yang paling ramai itu, aku kemudian dibawa
menggunakan truk raksasa. Dari sebuah pabrik raksasa, aku diolah.
Banyak campuran
yang tidak aku ketahui namanya telah bercampur bersamaku, hingga aku sadar, dan
semakin sadar, kalau tubuhku tidak lagi seperti bubur, tetapi menjadi lebih
cair.
Kami
dipisahkan. Kebetulan, aku dibawa, dan dituangkan ke tempat pembuatan peluru.
Semua alat bekerja otomatis. Tidak kulihat seorang manusia pun di sana. Hanya beberapa orang. Kemudian aku sadar, bahwa aku telah dibuat
menjadi sebutir peluru.
Sampai pada
saat itu, aku hanya mampu menangis. Aku sadar, aku dibuat untuk menerjang,
menembusi dada lawan. Tugasku adalah membuat orang yang diperintahkan padaku
untuk ditembusi, aku tembusi, hingga mati. Aku sadar, dan telah menjadi
kebiasaan kami para peluru, bahwa menjadi kebanggaan kami, bila kami berhasil
menembusi dada lawan.
Aku dikemasi,
dan diberi label. Kemudian, aku dimasukkan ke dalam sebuah ruangan besar. Aku
kemudian bertemu dengan banyak teman-temanku, para peluru.
Baru aku tahu
dari percakapan beberapa orang, bahwa aku sedang dalam kapal, dikirim ke
Indonesia. Indonesia, nama yang asing bagiku. Entah sebuah kota, barangkali
sebuah tempat perang, itu pikirku.
Sampai pada
pelabuhan Tanjung Priok, aku diturunkan. Bersamaku turun pula
teman-teman biji besi dari Papua yang kini telah dibuat menjadi peluru,
senjata, dan beberapa alat perang lainnya.
Untuk enam
bulan pertama, aku masih dapat bernafas lega, karena aku masih aman di dalam
gudang senjata pusat TNI. Pada hari pertama, habis lepas bulan keenam, aku
dibawa menuju pelabuhan.
Besertaku,
banyak juga prajurit serta. Ketika aku ketahui kapal yang aku tumpangi menuju
Papua, sungguh, aku bangga. Aku senang. Aku kembali ke tanah airku.
Tetapi bila aku
tahu sedari awal apa yang bakal terjadi saat ini, lebih baik bagiku
untuk bunuh diri, lompat dari kapal ke dalam laut saja waktu itu. Akh, tapi tak
tahu hari esok. Yang aku tahu, adalah rangkaian saat ini-saat ini, yang terus
membentuk masa lalu, dan harapan akan hari esok yang aku buat. Itu saja.
Aku kemudian
dimasukkan ke dalam senjata seorang tentara. Sekitar satu bulan aku berada di
dalam senjata itu. Beberapa peluru pertama telah keluar, dilesakkan, entah
mengenai siapa, aku tidak tahu, karena saat itu, aku masih di dalam senjata.
Aku tak dapat
melihat jelas. Yang jelas, semua dilesakkan dari tanah Papua, tanah asalku. Tanah tempat aku terbentuk, jauh di dasar
gunung Salju, Erstberg.
Baru pada waktu
itu, beberapa peluru terdepan ditembakkan. Tibalah giliranku ditembakkan.
Sebagai peluru, aku bersiap menerjang apa saja yang menjadi tujuan bidikan
tuanku, tentara itu.
Dari corong
lubang tempat keluarnya peluru, aku melihat. Di atas tanah, seorang lelaki
Papua telah berkalang tanah.
"Tuhan
Yesus," suaraku tertahan....
"Itu Musa Mako
Tabuni!"
"Tidakkkkkk......"
pekikku dengan air mata menetes.
Aku ingat pada
ibuku, yang ketika kecil, ketika aku masih bersama ibuku, tepat pada saat-saat
terakhir kami bersama sebelum kami dipisah-paksa dari perut bumi Papua, dengan
cucuran air mata, aku lihat dan dengar dengan mata telingaku sendiri, ibuku
berdoa memohon kekuatan dan berkat bagi orang yang bernama Musa Mako Tabuni.
Dalam doa ibuku
pula, aku dengar, ia pejuang tanah dan bangsa yang hidup di atas tanah tempat
kami tinggal.
Juga, dari
ruangan militer itu, juga aku telah lihat foto orang yang menjadi target
tembak, ia disebut Musa Mako Tabuni. Ketika para tentara
berbicara, kau tatap dalam-dalam wajah orang yang bernama Musa Mako Tabuni itu.
Aku lahap
wajahnya, hingga lekukan kecil, bahkan guratan kecilpun aku hafal dari mukanya.
Ia pahlawanku, begitu kuat aku berkata dalam hati. Aku diam-diam
menghormatinya: sang pahlawan!.
Kini, di
depanku, orang itu, orang yang oleh ibuku didoakan dengan tangisan itu, yang aku hormati karena didoakan ibuku sebagai pahlawan itu, kini kaku tak berdaya
diberondong 6 peluru terdahulu. Kini tinggal.............
"Dooooorrr.........."
Aku dilesakkan.
Aku tahu, aku
dilepas lurus juga ke jantung orang itu. Dalam waktu satu per sekian detik itu,
aku membathin;
"Haruskah
aku menembusi orang yang telah kaku, meninggal ditembusi 6 peluru ini?
Pantaskah aku menembusi jantung orang yang oleh ibuku malah didoakan dengan tangisan
dan air mata, yang oleh ibuku, dalam isak tangis doa itu, aku dengar ibuku
menggelarnya Pahlawan?"
"Pantaskah
aku menembusi tubuh kakunya, membuat darah mengalir? Haruskah aku menembusi jantung anak negeri
Papua sendiri?"
"Tidaaaakkkkk........"
aku memekik.
Lantas, semua
kaget mendengar pekikanku itu. Aku lantas membelokkan tubuh, lari jauh ke arah
lain, tidak jadi menembusi Mako, sang
pahlawan itu.
Kemudian,
ketika dari bukit kecil itu, aku menoleh, ada sepasukan TNI mengejarku, aku
lantas berlari dan bersembunyi di seputaran Bukit Sky Land. Di sana, di bawah akar pohon, aku bersembunyi.
Tiga malam aku
disana, tanpa makan. Aku mengikat perutku dengan kain. Dan, pada malam ini, aku merasa sedikit lebih aman, dan aku datang mencari
perlindungan di sini.
***
Pastor Kegou
melumat butir peluru itu dengan tatapannya. Kemudian, ia menarik nafas panjang,
dan menunduk.
Berarti, kamu
satu-satunya saksi mata yang mampu mengatakan yang sebenarnya dari semua
tragedi pelanggaran hak asasi manusia itu. Anakku, hanya kamulah saksinya, dan
hanya kamulah yang kini menjadi target mereka untuk menghilangkan jejak.
Iya. Akulah
peluru ketujuh yang dilesakkan tepat ke arah jantung Mako Tabuni. Akulah saksi
mata, dan aku ingin bersaksi atas semuanya itu. Dan karena itulah, aku
datang kepadamu Pastor. Aku butuh perlindunganmu.
Pastor Kegou diam tanpa bicara, sambil muka berkerut,
dengan jarinya terus memainkan jenggot keriting pendek yang kini mulai putih
dimakan usia, ia terus menggelengkan kepala.
Oleh: Topilus B. Tebai
No comments:
Post a Comment