<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » RI Tidak Paham Jeritan Hati Rakyat Papua

RI Tidak Paham Jeritan Hati Rakyat Papua

Foto Gloogle IST
Jakarta - Semua orang Indonesia yang cinta Papua boleh-boleh saja tidak rela, apabila pulau di ujung Timur Nusantara itu lepas dari NKRI. Masyarakat Papua sendiri, belum tentu semuanya ingin lepas dari NKRI.

Akan tetapi salah satu persoalan yang cukup mendasar adalah bagi rakyat Papua keinginan memisahkan diri itu dianggap sebagai pilihan yang jauh lebih baik. Penyebabnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selama 50 tahun terakhir ini, tidak membuat kehidupan masyarakat Papua di pulau nan kaya itu, lebih baik dan sejahtera. 

Marginalisasi terhadap Papua dan masyarakatnya jauh lebih menonjol dibanding usaha-usaha memperbaikan kehidupan lebih sejahtera.

Gejolak-gejolak yang muncul di Papua belakangan ini, coba ditanggani oleh Unit Kerja Khusus yang dibentuk Presiden SBY. Unit kerja itu dikepalai oleh Bambang Darsono, seorang jenderal TNI AD berpengalaman di bidang teritorial dan juga merupakan salah seorang jenderal yang dipercaya SBY.

Tapi Darsono pun tampaknya tidak bisa berbuat maksimal. Darsono memiliki keterbatasan. Entah keterbatasan dana operasi, staf pendukung atau bahkan mungkin kewenangan.

Kehidupan masyarakat Papua terutama yang berada di daerah yang hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang atau jalan kaki, tak ubahnya dengan kehidupan di jaman primitif.

Ironisnya kehidupan yang serba minim ini, tak pernah terpikirkan oleh para pengambil keputusan di Jakarta apalagi dihayati. Semakin jauh letak daerah yang memiliki permasalahan - dengan Jakarta sebagai pusat pengambilan semua keputusan terpenting, semakin jauh kepedulian para birokrat itu. Apalagi masih banyak birokrat yang berpikir untuk kepentingan diri sendiri termasuk mereka senang melakukan korupsi atas uang rakyat.

Johanes Lokobai dari desa Megapura misalnya, saking miskinnya sehingga tidak pernah bisa mengenyam pendidikan, tidak tahu berapa sebenarnya usianya. Johanes tidak tahu kapan dia lahir dan dimana dilahirkan. Kedengarannya absurd, tetapi itulah salah satu karikuatur kehidupan rakyat Papua.

"Saya cuma tahu, bahwa usia saya sudah tua," katanya seperti dilaporkan Michael Bachalard, wartawan Australia yang bertugas di Indonesia untuk media dari kelompk Fairfax, Sydney Morning Herald.

Michael dalam laporannya 4 Maret 2013 dengan judul "They Are Taking Our Children", secara gamblang menulis sebuah "operasi cuci otak" yang dilakukan oleh sebuah lembaga terhadap ribuan anak-anak Papua.

Laporan ini sekilas, berat sebelah. Menunjukkan keberpihakan media Barat khususnya Australia terhadap Papua dan penduduknya aslinya yang dianggap masih bertautan dengan warga Australia, etnik Aborigin. Laporan ini, jika tidak dibaca dengan tenang apalagi tidak menggunakan hati sebagai pisau analisa, akan dilihat sebagai sebuah laporan yang memprovokasi.

Untuk akuntabilitas laporan tersebut, Michael menemui sejumlah nara sumber yang kredibel termasuk membuat foto-foto yang mendukung laporannya tersebut. Michael juga memasukkan pengalaman pribadinya, yang diancam agar tidak melaporkan apa yang sedang dia investigasi.

Laporan wartawan Australia itu dengan cepat menyebar, setelah Rianti Amelia, salah seorang Facebooker yang mengunduhnya kemudian menyebarkan kepada ribuan sahabatnya. Rianti membumbuhi catatan, bahwa laporan yang dibuat wartawan Australia itu, tidak akan bisa ditemukan di media-media Indonesia, sebab wartawan Indonesia tidak punya keberanian seperti jurnalis Australia.

Secara implisit Rianti Amelia menyindir semua tulisan atau laporan yang diturunkan media di Indonesia. Wartawan Indonesia tidak memahami keadaan yang sesungguhnya yang terjadi di perut pulau Papua. Sehingga persepsi dan perspektif yang didapat pembaca (Indonesia) tentang persoalan Papua, keluar dari konteks.

Dengan persepsi yang keluar konteks tersebut, kontrol sosial media-media Indonesia, tidak akan pernah efektif. Hasilnya, pemerintah apakah itu Presiden SBY atau aparat yang lebih rendah, tidak akan bisa tampil dengan solusi yang tepat.

Dengan kata lain, jika masyarakat internasional pada akhirnya mendukung perjuangan OPM agar pulau itu menjadi sebuah negara merdeka, hal tersebut bukan sebuah kesalahan.

Keberpihakan kepada OPM justru lebih masuk akal. Sebab organisasi yang dituduh Indonesia sebagai gerakan separatis itu lebih jelas dan fokus perjuang mereka. OPM tidak sekadar memperjuangkan sebuah negara merdeka, tetapi memperjuangkan kemerdekaan yang paling azasi dari setiap anak manusia.

Masyarakat internasional mendukung OPM sebab mereka lebih memiliki informasi yang komprehensif dibanding masyarakat Indonesia sendiri.

Dalam laporannya Michael tidak menyinggung sama sekali tentang perjuangan OPM. Tetapi melihat jarak waktu antara tanggal laporan itu diturunkan dengan tanggal pembukaan kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, pertengahan April lalu, bukan mustahil, keduanya saling memiliki keterkaitan.

Secara politik Inggris tetap mengakui kedaulatan Indoneisa atas seluruh wilayah Papua. Tetapi pejabat-pejabat pemerintah Inggeris sebagai manusia beradab dan berbudaya juga tidak bisa menutup telinga dan mata atas laporan berupa "second opinion" tentang Papua.

Dalam arti pemerintah Inggris sendiri, tidak bisa melarang warga Oxford untuk memberikan izin pembukaan kantor OPM di salah satu wilayah Inggris. Karena pertimbangannya lebih didasarkan pada alasan kemanusiaan.

Bahwasanya Inggris mengakui Papua sebagai bagian dari NKRI, tetapi juga berharap dari Indonesia agar pengakuan itu dibarengi dengan perlakuan yang berkeadaban terhadap seluruh rakyat Papua.

Bagi Indonesia laporan yang mengungkapkan tentang penderitaan yang melampaui batas menurut standar peradaban bangsa Barat (Inggris), hanya dianggap sebagai sebuah persoalan biasa yang memerlukan perhatian "hari ini juga".

Perbedaan-perbedaan persepsi inilah yang nampaknya membuat masalah Papua berkembang seperti yang terjadi selama ini. Ditambah lagi ada kesan media-media Indonesia, kurang berani melaporkan keadaan yang sesungguhnya tentang apa yang dialami dan dirasakan oleh rakyat Papua. [INILAH.COM,]
Share this article :

No comments:

 
Copyright © 2011. Tuan Tanah Papua News . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger