Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum PGBP ((Foto: baptispapua.blogspot.com)
Oleh : Socratez Sofyan Yoman*
Pada 15 Mei 2013 dalam seminar 50 tahun Papua dalam Indonesia yang
diselenggarakan Univesitas Indonesia, Sultan Hemengku Buwono X melalui
sambutan tertulisnya menyatakan: “Otonomi Khusus Papua terbukti gagal
mensejahterakan rakyat Papua. Terjadi pelanggaran HAM dan kekerasan
Negara di Papua. Negara hadir di Papua dalam bentuk kekuatan-kekuatan
militer. Konflik yang terjadi di Papua saat ini, bukanlah konflik
horizontal, melainkan konflik vertikal antara pemerintah dan masyarakat.
Indonesia gagal meng-Indonesia-kan orang Papua”.
Pernyataan tadi kalau disampaikan dari orang Papua, dengan pasti
pemerintah Indonesia menyerang dengan pernyataan stigma separatis.
Namun demikian, sebaliknya, pernyataan tadi disampaikan dari Sultan,
orang Jawa Asli dan dari bukan orang asli Papua.
Maka pernyataan Sultan dapat membenarkan dan mendukung apa yang
disuarakan oleh rakyat Papua selama ini. Ini bukan suara separatis,
bukan juga suara anggota OPM. Suara ini merupakan ungkapan hati nurani
seorang Sultan yang melihat kompleksitas dan realitas masalah Papua
dengan mata iman dan mata hati.
Pernyataan mengagumkan dan luar biasa di atas merupakan pengakuan
jujur dan terbuka tentang kejahatan negara, pelanggaran HAM berat yang
dilakukan negara, konflik vertikal antara Negara dan rakyat Papua,
kegagalan pemerintah Indonesia dalam membangun rakyat Papua selama 50
tahun.
Wajah kegagalan pemerintah Indonesia selama 50 tahun dengan mudah
dapat diukur dari realitas kehidupan Penduduk Asli Papua. Kemiskinan
penduduk Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita.
Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas,
perak, ikan, hutan, rotan, minyak ada di Tanah Papua. Papua memberikan
sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap tahun. Contoh: PT Freeport
milik perusahaan Amerika ini memberikan sumbangan pajak kepada
Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap tahun. Belum termasuk,
sumbangan pajak dari British Petrolium (BP) perusahaan milik Inggris di
Bintuni, Manokwari dan pajak minyak milik perusahaan Cina yang
diproduksi di Sorong.
Sementara rakyat Papua pemilik dan ahli waris Tanah yang kaya raya
ini dikejar, ditangkap, disiksa, dipenjarakan dan dibunuh seperti hewan
dengan stigma separatis, makar dan anggota OPM. Dan juga dibuat tak
berdaya dan dimiskinkan permanen secara struktural, sistematis oleh
penguasa Pemerintah Indonesia.
Freddy Numbery dalam Analysis pada
SindoWeekly, 8 Mei 2013
dengan topik “50 Tahun Penindasan” mengatakan: “ Walaupun Tanah Papua
sangat kaya sumber daya pertambangan, tapi ironisnya masyarakat Papua
masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, malahan
mengalami kekerasan”.
Numbery dalam sambutan 50 tahun Papua dalam Indonesia suatu refleksi
dan renungan suci pada 15 Mei 2013 menyatakan: “Kita juga patut
bertanya, apakah Negara telah berhasil meng-Indonesia-kan orang Papua
dan apakah Pemerintah sudah berhasil merebut hati dan pikiran orang
Papua dalam konteks kebangsaan Indonesia”.
Numbery dalam opini di Kompas, 6 Mei 2013 dengan topik:
Papua, Sebuah Noktah Sejarah
mengatakan: “Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan kolonial itu telah
menjadi budaya dalam sistem kita, kita gunakan atas nama kedaulatan
negara, mengabaikan HAM, dan akhirnya menghancurkan rakyat Papua. Orang
Papua sering menggugat. Katanya kita bersaudara dan merdeka dari
penjajahan, tetapi apa bedanya Indonesia dengan Belanda jika cara-cara
kekerasan yang sama dipakai untuk menghancurkan bangsa sendiri.”
Dari realitas dalam kehidupan sehari-hari tergambar jelas bahwa
pemerintah Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah rakyat Papua
dengan empat agenda pokok di Tanah Papua, yaitu: kepentingan ekonomi,
kepentingan politik, kepentingan keamanan, kepentingan pemusnahan etnis
Papua.
Untuk mencapai empat agenda besar ini, Pemerintah, TNI dan POLRI dan
Hakim selalu menggunakan berbagai bentuk kekerasan untuk menyembunyikan
kebohongan mereka. Melalui proses pembohongan dan ruang rekayasa
Pemerintah berhasil mengintegrasikan ekonomi, politik dan keamanan ke
dalam Indonesia dan menindas dan memperlakukan orang asli Papua seperti
hewan.
Seperti Dominggus Sorabut menyatakan: ” Saya menolak pemeriksaan
polisi atas dakwaan kami berlima, dikarenakan pemeriksaan saya dengan
keempat terdakwa lainnya ditodong senjata serta kami diludahi seperti
binatang.”
Sementara, Agustinus M.Kraar Sananay menyatakan imannya: ” …saya
sudah muak mengikuti persidangan serta tak mau lagi memberikan
keterangan.” (Bintang Papua: Sabtu, 03 Maret 2012).
Perilaku dan watak kasar dan tidak manusiawi dan biadab seperti ini
menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal meng-Indonesia-kan dan
mengintegrasikan orang asli Papua ke dalam wilayah Indonesia. Maka
Manusia Papua, orang Melanesia ini benar-benar berada di luar bingkai
dan kerangka serta konstruksi integrasi NKRI”.
Dalam rangka mempertahankan dan mengkekalkan ideologi penjajahan,
pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum,
Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk membunuh Penduduk
Asli Papua dengan label separatisme.
Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam
Indonesia. Pemerintah dengan tangan besi, kejam dan brutal,
benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa
depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.
Pemerintah mendatangkan penduduk Indonesia yang miskin dipindahkan ke
Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di
lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik
Penduduk Asli Papua dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan
penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional.
Penduduk asli Papua dimusnahkan (genocide) dengan stigma Separatisme,
OPM dan berbagai bentuk pendekatan kejahatan kemanusiaan.
Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang mengkampanyekan
bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY,
mengkampanyekan isu separatisme di Papua adalah:
Pertama, untuk menyembunyikan kejahatan dan kekerasan
terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kegagalan melindungi dan
membangun penduduk Asli Papua.
Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang
dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah
diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969
yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan
Paskalis Kossay: “sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya
sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan
pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah
politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke
NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis” (Papua Pos, Sabtu, 14 Juli
2012).
Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan Otonomi Khusus.
Kelima,
pemerintah berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar
rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke isu separatisme.
Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi
vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah
berlangsung lima dekake sejak 1 Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan
atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan
perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Ketujuh, reaksi keras pemerintah Indonesia atas
dibukanya kantor OPM di Oxford 26 April 2013 hanya upaya Negara untuk
pengalihan masalah kejahatan Negara terhadap kemanusiaan dan kegagalan
pembangunan selama 50 tahun yang disoroti dunia internasional belakangan
ini. Reaksi keras itu juga bagian dari ketakutan pemerintah Indonesia
atas kejahatannya telah diketahui publik.
Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan
topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan: “ Sumber-sumber agraria
milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa
menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di
mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus
tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak
diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus
berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah
diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.
Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012,
menyatakan: “Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman
masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum,
seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir.
Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui
tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan rakyat sipil yang
tak bersalah. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan
kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa
demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.
Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara
Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012 mengatakan: “Para pelaku penembakan
misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin
kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah
separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di
tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok
tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan
misterius yang terjadi di Papua selama ini”. Cornelis Lay, dosen Ilmu
Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada
inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah
mengaku melakukan pendekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik.
Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah
Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini wajah
pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas, Rabu, 4 Juli 2012,
hal. 15).
Pemerintah dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, dan melegalkan
secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap
Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan
surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan
kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan
diciptakan sengaja, dipelihara oleh aparat keamanan dengan stigma
Separatis dan OPM supaya: (a) Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak
berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat, demi masa
depan yang penuh harapan, lebih baik, damai di atas Tanah
leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.
Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang
dan leluhur rakyat Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum
Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli
Papua adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain,
mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya
yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli
Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak
kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli
Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir.
Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk) dari
sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas
nama pembagunan nasional yang semu.
Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang disahkan
melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan
juga diterima sebagian kecil rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa
menerima Otsus. Sayang, Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak
pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa telah gagal .
Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun
2001. UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan
meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara,
penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli
Papua. Setelah Otonomi Khusus dan UP4B dinyatakan gagal, sekarang
Pemerintah Indonesia menyatakan Otsus Plus.
Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan,
melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan,
kejahatan terhadap penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan
brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan
Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini dengan mengkampanyekan
Separatisme harus dihentikan. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik
stigma separatisme. Menteri Luar Negeri Indonesia, Marty Natalegawa
memanggil “menyerang” Duta Besar Inggris, Mark Canning dengan protes
keras atas dibukannya kantor OPM di Oxford, Inggris 2013 merupakan
bagian dari upaya Indonesia untuk mengalihkan masalah kegagalan di
Papua.
Pemerintah sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti
kedamaian. Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam
Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan
ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan
nasionalisme ke-Indonesia-an. Selama 50 tahun Pemerintah Indonesia gagal
total melindungi dan menjaga integritas manusia Papua”
Penulis Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
No comments:
Post a Comment