Octovianus Mote. Foto: pacific.scoop.co.nz
Sidang yang intinya meninjau situasi
hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS dengan pandangan
menuju pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014 mendatang
itu mengundang Octovianus
Mote, Negosiator Perdamaian Papua untuk
menberi materi soal kondisi HAM di tanah Papua.
Kepada
majalahselangkah.com, Octovianus
Mote menyampaikan, ia diberi
kesempatan untuk menyampaikan pernyataan lisan kepada Tom Lantos Human
Rights Commission (TLHRC).
Kata dia, dalam pernyataan lisan itu, ia menyampaikan lima rekomendasi
untuk dipikirkan oleh Kongres AS.
Pertama, untuk
mengeluarkan resolusi Kongres AS yang mendesak pemerintah AS untuk melaksanakan
tanggung jawabnya untuk melindungi
(responsibility to protect) untuk mengakhiri kejahatan melawan kemanusiaan
terhadap rakyat Papua Barat.
Kedua, resolusi
yang sama seharusnya mendesak pemerintah Indonesia untuk mulai negosiasi dengan
maksud baik dengan tim damai Papua dengan mediasi pihak internasional.
Ketiga, untuk
mendukung tim damai Papua dengan dukungan logistik dan riset melalui
riset-riset di Amerika dan lembaga think tank dengan tujuan untuk
mengembangkan kemampuannya untuk mewakili Papua dalam perundingan damai.
Keempat, untuk
meminta pemerintah Amerika Serikat memberikan dukungan moral, politik, dan
logistik yang diperlukan bagi pemerintahan Yudhoyono untuk memulai perundingan
damai dengan tim damai Papua.
Kelima, untuk
memberi syarat dalam bantuan keamanan Amerika Serikat kepada pemerintah
Indonesia tentang mengakhiri pelanggaran HAM di Papua Barat dan tentang apakah
pemerintah Indonesia akan berunding dengan niat baik dengan masyarakat Papua
Barat.
Octovianus Mote
adalah mantan kepala biro Papua di Kompas, Harian terbesar di Indonesia.
Menyusul pertemuan antara Tim 100 Pemimpin Papua dan Presiden BJ. Habibie pada
1999, ia meninggalkan Papua untuk bersembunyi di Amerika Serikat karena diancam
dibunuh oleh pasukan keamanan Indonesia. Ia
mendapatkan suaka dan warganegara AS, sejak itu ia terus-menerus tanpa lelah
melobi Kongres AS dan pemerintah AS untuk isu HAM di Papua dan Indonesia secara
lebih luas.
Ia adalah
penerima Tom and Andy Berstein Senior Human Rights Fellow di Yale Law School. Belum lama ini, ia menjadi ketua Tim Papua Damai yang
bekerja sama sangat dekat dengan proyek riset Peacebuilding Compared di Australian National University yang dipimpin oleh Professor John Braithwaite.
Pada Konferensi Papua Damai yang diadakan pada 2011 yang
diadakan oleh Jaringan Damai Papua (Papua Peace
Network) di Jayapura, secara
demokratis ia dipilih sebagai satu dari antara lima orang Negosiator Papua
Damai. Keempat
orang yang lain adalah Rex
Rumakiek (di Australia), DR. John Otto Ondawame
(di Australia), Benny Wenda
(di Inggris), dan LeoniTanggahma
(di Belanda). Mereka ditetapkan berdasarkan
17 macam kriteria.
Kriteria dimaksud
antara lain adalah harus mampu menggunakan bahasa Inggris standar (speaking, listening, reading and writing),
memiliki kemampuan diplomasi dan bernegosiasi (bersertifikat), memahami proses
sejarah perjuangan Papua, jururunding bukan pemimpin, tapi mendapat
mandat dari pemimpin serta ada beberapa kriteria yang khusus dan penting. (GE/MS)
http://majalahselangkah.com
No comments:
Post a Comment