Oleh : Naftali Edoway*
Beberapa waktu yang lalu, LSM Tapol yang
berbasis di London, Inggris melaporkan bahwa hingga Maret 2013 ada
sekitar 40 orang Papua yang dipenjarakan dengan pasal makar (baca: http://suarapapua.com/2013/04/tapol-minta-pemerintah-hentikan-dalih-tak-ada-tapol-di-papua/)
Rupanya, pasal 106 dan 214 KUHP telah
menjadi salah satu senjata pemerintah Indonesia dalam meredam
nasionalisme kepapuaan orang Papua selain operasi militer, operasi
intelenjen, dll.
Banyaknya jumlah tapol/napol dan tingginya
operasi militer serta besarnya jumlah orang Papua yang miskin
menunjukkan bahwa ada masalah diantara kedua pihak ini.
Dan masalah yang paling mendasar adalah
masalah ideologi bukan kesejahteraan. Papua merdeka di satu pihak dan
keutuhan NKRI di pihak yang lainnya. Dua ideologi yang tak akan
berujung jika masing-masing bersikeras pada idenya dan tidak berusaha
menemukan pisau yang pas untuk membedahnya.
40 orang yang diberi status tapol/napol ini
lahir dari ideologi Papua merdeka tadi. Mereka ada di jalan itu karena
panggilan kemanusiaan. Kemanusiaan Papua yang tidak dihargai dan
direnggut selama 50 tahun terakhir oleh moncong senjata aparat keamanan
Indonesia.
Karena hak politik mereka yang direkayasa
diseputaran Pepera 1969 (lihat John Salford tentang “Keterlibatan PBB
dalam Penentuan Nasib Sendiri di Irian Barat 1968-1969″).
Namun sayang, dalam kampanyenya di tingkat
internasional pemerintah Indonesia selalu membantah akan adanya
tapol/napol ini. Mereka justru berdalih bahwa yang ada hanyalah tahan
kriminal. Lalu mengapa pasal makar masih saja diberlakukan?
Sebenarnya apa yang diterapkan pemerintah Indonesia di Papua saat ini adalah pengulangan dari sejarah masa lalu mereka.
Dulu pada masa revolusi kemerdekaan
Indonesia, banyak tokoh penentang pemerintahan Belanda di tahan dan
diasingkan. Pemerintah Belanda berusaha membungkam mereka karena mereka
di anggap separatis/makar.
Gerakan-gerakan mereka dianggap
menggoyahkan kekuasaan pemerintah Belanda. Mereka yang pernah
dipenjarahkan pemerintah Belanda adalah Soedirman, Soekarno, Pramoedya
Ananta Toer, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, dll. Bahkan tidak sedikit
dari tokoh revolusi kemerdekaan Indonesia yang ditembak mati Belanda.
Di Papua kini ada Filep karma, Selpius
Bobii, Forkorus Yaboisembut, Dominikus Surabut, dll. Status mereka
adalah nara pidana politik. Mereka dicap separatis dan dijerat dengan
pasal makar. Aksi-aksi protes mereka dianggap menentang kedaulatan NKRI.
Pasal makar yang ada sebenarnya sudah tidak
diberlakukannya lagi di Negara asalnya Belanda. Pasal ini duluhnya
hanya diberlakukan bagi masyarakat kolonial. Kemudian ia dihapus karena
dianggap bertentangan dengan ide freedom of expression and opinion.
Walaupun demikian, pasal ini masih
dipertahankan dan diberlakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap orang
Papua. Maka kita bisa katakan bahwa masyarakat Papua adalah masyarakat
kolonial atau masyarakat yang sedang dijajah.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Saya pikir
pemerintah Indonesia harus bisa mengakui realita yang ada bahwa masih
ada tapol/napol di Papua.
Kedua, pemerintah jika mempunyai itikad
yang baik bisa menghapus pasal ini sebab sangat bertentangan dengan
UUD’45, dan undang-undang kebebasan berekspresi yang berlaku di
Indonesia dan di dunia internasional. Jika tidak, otomatis akan terus
bermuara pada pelanggaran HAM.
Akhirnya, kita bisa katakan bahwa pasal
makar yang menjerat orang Papua khususnya tapol/napol ini adalah pasal
karet yang terus ditarik pemerintah untuk mempertahankan status quo
secara politik dan ekonomi di tanah Papua Barat. Dimana status quonya
ini masih dipermasalahkan oleh orang Papua hingga kini.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Jayapura, Papua
No comments:
Post a Comment