Pemuda Pengantar Jenazah
Saat itu, masih belum terlihat satu aparat polisi pun di
sana. Orang terus berdatangan untuk bergabung. Beberapa anak SMA terlihat di
sana, mereka mengenakan pakaian seragam.
"Hari ini, kami mau bilang, kalau kami lelah. Kami mau
bilang, kalau kami mati. Kami mau
bilang, kalau Otsus sudah mati di tanah
Papua. Kami mau bilang, kalau kami hanya
mau referendum. Kami ingin kehidupan,"begitulah kata-kata salah satu pendeta mengawali
aksi damai ketika itu, yang sempat saya catat baik dalam buku agenda.
Tepuk tangan dan teriakan waita tentu menyambut kata-kata
pendeta itu. Tidak ada satu pun birokrasi yang keluar menemui mereka. Lalu,
mereka memutuskan untuk pawai keliling kota dengan membawa serta mayat hitam.
Saya terus ikuti. Mereka susur jalan merdeka, jalan utama
kota Nabire. Anak-anak kecil dan ibu-ibu antusias bergabung di sana. Tidak
tahu, apa yang terlintas dalam benar mereka saat bergabung. Mungkin ikut ramai?
Tetapi, yang jelas massa semakin banyak dan mereka memutuskan untuk berjalan
kaki 4 KM, ke gedung DPRD Nabire.
Di sana, gedung DPRD adalah tempat di mana massa akan
membakar mayat Otsus, sesuai tradisi orang Wamena. Para pemuda di paling depan
secara bergantian memikul peti mati, lambang kematian Otonomi Khusus di tanah
Papua.
Saya mengabadikan gambar di atas ini saat para pemuda itu
memikul mayat Otsus. Beberapa di antara mereka tak bersandal. Di samping mayat,
sebelah sana, seorang bapak berbaju merah, tak bersandal ikut mengiring mayat itu. Pemandangan yang
menarik, tentu menurut saya. Ada cerita di sana.
Perjalanan 4 KM tidak memakan waktu lama, massa menandai kedatangan di gedung DPRD dengan waita
keliling kantor. Ini mungkin tanda lain kepada DPRD Nabire di dalam kantor
bahwa "suara kami harus didengar lalu sampaikan".
Beberapa menit berlalu. Orasi dilakukan secara bergantian.
Sementara itu, beberapa orang telah melobi DPRD Nabire untuk bisa keluar
ruangan untuk mendengarkan kemauan rakyat. Benar, Ketua, Wakil Ketua dan para
anggota DPRD keluar dan berjejer berhadap-hadapan dengan massa. Tentu, aparat
polisi telah lebih duluan berada di areal kantor.
"Kegiatan inti kami di hari ini ada dua. Pertama, rakyat
ingin mengembalikan Otonomi Khusus kepada Jakarta secara resmi. Kedua, Otonomi
Khusus dikembalikan dengan cara orang Papua dan akan dibakar di depan bapak dan
ibu DPRD di halaman gedung ini,"kata salah satu orator ketika itu.
Lalu, tanpa bicara
banyak, massa membakar mayat itu di depan ketua dan anggota DPRD Nabire.
Sebelum mayat itu sempat terbakar habis, suasana di kantor
DPRD tiba-tiba berubah. Banyak orang berlarian saling megejar dari samping
kanan kantor. Terdengar bunyi lemparan, tok tik, tak tak.. tik, begitu batu
mengenai kaca kantor DPRD.
Saya mendekat, ada apa gerangan aksi damai itu sekejap
brutal. Ternyata, salah satu orang Barat yang hendak mengabadikan aksi
pembakaran peti mati Otsus itu ditangkap aparat dan kameranya di sita. Massa marah
dan saling tarik-menarik dengan polisi.
Sementara massa yang lain tidak menahan emosi dan melempar kantor DPRD untuk
meminta intervensi pembebasan dari anggota dewan.
Massa tenang kembali dan melanjutkan aksi setelah mendapatkan jaminan pembebasan
orang Barat itu. Selanjutnya, pernyataan yang telah disiapkan diberikan kepada
DPRD untuk dilanjutkan kepada Jakarta. Soal
dilanjutkan atau tidak bukan soal rakyat. Rakyat tahu telah serahkan dan mereka
yakin dengan usaha mereka. Pada hari yang sama digelar aksi yang sama di
beberapa kabupaten termasuk di Jayapura.
Tapi, itu empat tahun lalu. Suara-suara rakyat itu sia-sia.
Apakah DPRD diam atau malah Jakarta yang diam. Tidak tahu. Yang jelas, Otsus
terus berjalan tanpa ada upaya evaluasi. Tanpa sadar bahwa Otsus yang isinya
adalah kebijakan dan uang darah itu tidak menyentuh orang asli Papua. Bahkan
kita dengar, akan ada pameran Otsus di waktu dekat.
Banyak orang bertanya, mungkin akan pamerkan pesta poranya para pejabat, mobil, ruko, dan mungkin
istri. Mungkin juga, soal para pemuda pengantar mayat Otsus yang terseret di tingkat paling bawah dari
kehidupan di atas tanah mereka. Bisa juga soal yang lain terus terberdaya dan
yang lain terus tereliminasi; yang lain terus bertambah dan yang lain terus
terbunuh.
Juga, mungkin akan buka stand
soal letupan senjata yang terus menambah catatan hitam di sini. Juga bisa jadi
soal Tambrauw, Yahokimo, dan tempat lain yang para pejabatnya tawar-menawar, batah-batahan 'soal kenyataan
nyawa manusia yang melayang'. Ya, semua terus berjalan dengan mayat Otsus yang
masih terus berjalan!
Catatan ini dibuat sebagai pengingat peristiwa 4 tahun lalu,
di hari Senin, 22 April. Mungkin apa yang mereka sampaikan tidak dianggap. Tetapi
yang penting, perlu dikenang adalah mereka berjalan kaki 4 KM dengan memikul
mayat Otsus. Mereka membakar di depan kantor DPRD Nabire di depan ketua dan
anggota DPRD. Satu lagi, saat itu, mereka membela orang barat yang mengabadikan
aksi mereka.
TAPI, mungkin lebih tepat adalah catatan ini "mengenang ulang tahun 4 para pemuda pembawa jenazah almarhum Otonomi Khusus Papua. (MS)
http://majalahselangkah.com/content/pemuda-pengantar-jenazah
No comments:
Post a Comment