<div style='background-color: none transparent;'></div>
Home » » Pemuda Pengantar Jenazah

Pemuda Pengantar Jenazah

Pemuda Pengantar Jenazah
Empat tahun lalu, seorang mama dari suku Moni menari-nari di depan kantor Bupati Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Di belakang dia, tampak beberapa pemuda membawa sebuah peti hitam bertuliskan Almarhum Otsus. Disusul, banyak orang dari berbagai kelompok tumpah ruah  di depan kantor itu. Mereka membentangkan spanduk tunggal bertuliskan, "Otsus Gagal, Gelar Referendum untuk Papua".
Saat itu, masih belum terlihat satu aparat polisi pun di sana. Orang terus berdatangan untuk bergabung. Beberapa anak SMA terlihat di sana, mereka mengenakan pakaian seragam.
"Hari ini, kami mau bilang, kalau kami lelah. Kami mau bilang,  kalau kami mati. Kami mau bilang,  kalau Otsus sudah mati di tanah Papua. Kami mau bilang, kalau kami  hanya mau referendum. Kami ingin kehidupan,"begitulah kata-kata salah satu pendeta mengawali aksi damai ketika itu, yang sempat saya catat baik dalam buku agenda.
Tepuk tangan dan teriakan waita tentu menyambut kata-kata pendeta itu. Tidak ada satu pun birokrasi yang keluar menemui mereka. Lalu, mereka memutuskan untuk pawai keliling kota dengan membawa serta mayat hitam.
Saya terus ikuti. Mereka susur jalan merdeka, jalan utama kota Nabire. Anak-anak kecil dan ibu-ibu antusias bergabung di sana. Tidak tahu, apa yang terlintas dalam benar mereka saat bergabung. Mungkin ikut ramai? Tetapi, yang jelas massa semakin banyak dan mereka memutuskan untuk berjalan kaki 4 KM, ke gedung DPRD Nabire.
Di sana, gedung DPRD adalah tempat di mana massa akan membakar mayat Otsus, sesuai tradisi orang Wamena. Para pemuda di paling depan secara bergantian memikul peti mati, lambang kematian Otonomi Khusus di tanah Papua.
Saya mengabadikan gambar di atas ini saat para pemuda itu memikul mayat Otsus. Beberapa di antara mereka tak bersandal. Di samping mayat, sebelah sana, seorang bapak berbaju merah, tak bersandal  ikut mengiring mayat itu. Pemandangan yang menarik, tentu menurut saya. Ada cerita di sana.
Perjalanan 4 KM tidak memakan waktu lama, massa menandai  kedatangan di gedung DPRD dengan waita keliling kantor. Ini mungkin tanda lain kepada DPRD Nabire di dalam kantor bahwa "suara kami harus didengar lalu sampaikan".
Beberapa menit berlalu. Orasi dilakukan secara bergantian. Sementara itu, beberapa orang telah melobi DPRD Nabire untuk bisa keluar ruangan untuk mendengarkan kemauan rakyat. Benar, Ketua, Wakil Ketua dan para anggota DPRD keluar dan berjejer berhadap-hadapan dengan massa. Tentu, aparat polisi telah lebih duluan berada di areal kantor.
"Kegiatan inti kami di hari ini ada dua. Pertama, rakyat ingin mengembalikan Otonomi Khusus kepada Jakarta secara resmi. Kedua, Otonomi Khusus dikembalikan dengan cara orang Papua dan akan dibakar di depan bapak dan ibu DPRD di halaman gedung ini,"kata salah satu orator ketika itu.
 Lalu, tanpa bicara banyak, massa membakar mayat itu di depan ketua dan anggota DPRD Nabire.
Sebelum mayat itu sempat terbakar habis, suasana di kantor DPRD tiba-tiba berubah. Banyak orang berlarian saling megejar dari samping kanan kantor. Terdengar bunyi lemparan, tok tik, tak tak.. tik, begitu batu mengenai kaca kantor DPRD.
Saya mendekat, ada apa gerangan aksi damai itu sekejap brutal.  Ternyata, salah satu orang  Barat yang hendak mengabadikan aksi pembakaran peti mati Otsus itu ditangkap aparat dan kameranya di sita. Massa marah dan saling tarik-menarik  dengan polisi. Sementara massa yang lain tidak menahan emosi dan melempar kantor DPRD untuk meminta intervensi pembebasan dari anggota dewan.
Massa tenang kembali dan melanjutkan  aksi setelah mendapatkan jaminan pembebasan orang Barat itu. Selanjutnya, pernyataan yang telah disiapkan diberikan kepada DPRD untuk dilanjutkan kepada Jakarta. Soal dilanjutkan atau tidak bukan soal rakyat. Rakyat tahu telah serahkan dan mereka yakin dengan usaha mereka. Pada hari yang sama digelar aksi yang sama di beberapa kabupaten termasuk di Jayapura.
Tapi, itu empat tahun lalu. Suara-suara rakyat itu sia-sia. Apakah DPRD diam atau malah Jakarta yang diam. Tidak tahu. Yang jelas, Otsus terus berjalan tanpa ada upaya evaluasi. Tanpa sadar bahwa Otsus yang isinya adalah kebijakan dan uang darah itu tidak menyentuh orang asli Papua. Bahkan kita dengar, akan ada pameran Otsus di waktu dekat.  
Banyak orang bertanya, mungkin akan pamerkan  pesta poranya para pejabat, mobil, ruko, dan mungkin istri. Mungkin juga, soal para pemuda pengantar mayat Otsus  yang terseret di tingkat paling bawah dari kehidupan di atas tanah mereka. Bisa juga soal yang lain terus terberdaya dan yang lain terus tereliminasi; yang lain terus bertambah dan yang lain terus terbunuh.
Juga, mungkin akan buka stand soal letupan senjata yang terus menambah catatan hitam di sini. Juga bisa jadi soal Tambrauw, Yahokimo, dan tempat lain yang para pejabatnya  tawar-menawar, batah-batahan 'soal kenyataan nyawa manusia yang melayang'. Ya, semua terus berjalan dengan mayat Otsus yang masih terus berjalan!
Catatan ini dibuat sebagai pengingat peristiwa 4 tahun lalu, di hari Senin, 22 April. Mungkin apa yang mereka sampaikan tidak dianggap. Tetapi yang penting, perlu dikenang adalah mereka berjalan kaki 4 KM dengan memikul mayat Otsus. Mereka membakar di depan kantor DPRD Nabire di depan ketua dan anggota DPRD. Satu lagi, saat itu, mereka membela orang barat yang mengabadikan aksi  mereka.
TAPI, mungkin lebih tepat adalah catatan ini  "mengenang ulang tahun 4 para pemuda pembawa jenazah almarhum Otonomi Khusus Papua. (MS)

http://majalahselangkah.com/content/pemuda-pengantar-jenazah
Share this article :

No comments:

 
Copyright © 2011. Tuan Tanah Papua News . All Rights Reserved
Company Info | Contact Us | Privacy policy | Term of use | Widget | Advertise with Us | Site map
Template Modify by Creating Website. Inpire by Darkmatter Rockettheme Proudly powered by Blogger