Sebuah kabar menghebohkan berhembus dari Australia. Kabar yang dipublikasikan jaringan media fairfax, dan ditindaklanjuti oleh The Canberra Times pada Sabtu (13/8/2011) kemarin, menyebut tentang laporan rahasia mengenai kaum separatis Papua yang ditulis oleh kesatuan elit militer Indonesia, Kopassus. Laporan tersebut mengklaim adanya kelompok-kelompok bersenjata yang bersiaga untuk perang gerilya. Tetapi dalam laporan diungkap bahwa kelompok itu hanya memiliki satu senjata untuk setiap 10 orang.
Laporan yang bertajuk ‘Anatomi Separatis Papua (Anatomy of Papuan Separatis)’ itu menyatakan, penduduk dari provinsi timur yang kaya akan sumber daya ini ‘mudah dipengaruhi oleh ide-ide separatis’. “Tuntutan irasional untuk hak adat atas tanah dan terbatasnya infrastruktur serta transportasi telah menghambat pertumbuhan ekonomi,” kata laporan itu.
Di bagian lain, dikatakan bahwa ketaatan dan kesetiaan orang Papua terhadap pemimpin adat/agama mereka sangat tinggi. “Sampai pada titik dimana adat memiliki keutamaan di atas hukum dan menciptakan peluang terjadinya konflik horisontal,” ungkap laporan tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan, laporan berdasar atas operasi pengawasan yang luas di wilayah otonomi khusus dan tempat tinggal bagi sekitar 2,7 juta orang itu berisikan dokumen-dokumen mengenai tokoh-tokoh kunci dalam gerakan kemerdekaan Papua. Tak hanya itu, dalam laporan juga diungkap sejumlah nama politisi, akademisi, wartawan, pekerja sosial dan pemimpin agama dari seluruh dunia yang menyokong gerakan separatisme di Papua.
Di antara mereka ada senator Partai Demokrat AS Dianne Feinstein, Uskup Agung Desmond Tutu, anggota parlemen Inggris dari partai Buruh Andrew Smith serta mantan pemimpin Papua Nugini Michael Somare. “Mereka adalah beberapa dari sekelompok besar orang yang bersekutu menuntut Papua Merdeka,” demikian tertulis di laporan tersebut, seperti diungkap oleh The Canberra Times.
Total ada 19 dokumen milik Kopassus tentang Papua yang dibocorkan oleh kelompok media Fairfax Australia. Dokumen bertahun 2006-2009 itu adalah laporan analisis detail tentang anatomi gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka, serta orang-orang yang dicurigai memberikan dukungan dan simpatinya kepada mereka.
Laporan itu menggambarkan pengawasan ketat yang dilakukan oleh intelijen Kopassus di Papua terhadap orang-orang yang dianggap sebagai tokoh gerakan separatis, orang-orang asing yang dicurigai mendukung gerakan ini, termasuk mengawasi turis-turis asing yang berkunjung ke sana.
Diungkap juga daftar informan yang ditugasi untuk mengawasi orang-orang yang dicurigai oleh Kopassus. Kendati jati diri informan-informan itu tidak disebutkan, namun dalam dalam laporan itu mereka digambarkan berdasarkan temperamen dan motivasi mereka. Informan-informan ini digambarkan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, birokrat, guru, tukang ojek, kepala suku, kepala desa, hingga petani.
“Materi dokumen ini menyingkap bahwa pemerintah Indonesia menjalankan sebuah jaringan mata-mata dan informan di Papua dalam skala target dan jangkauan yang mengejutkan,” tulis The Canberra Times. Pengawasan yang dilakukan oleh Kopassus, kata Canberra Times, juga dilakukan oleh TNI, polisi, serta BIN. Koran Australia itu menyebutkan, dokumen ini hanya sedikit contoh dari semua operasi yang tengah berlangsung di Papua.
Sejak otonomi khusus diperkenalkan pada 2001, diperkirakan jumlah pasukan TNI yang dikerahkan di sana berlipat ganda–dari tiga batalyon menjadi enam batalyon. Diperkirakan, jumlahnya sekitar 15.000 orang, atau sekitar 13 kali dari jumlah pasukan separatis di sana. Berdasarkan dokumen tersebut, kekuatan kelompok separatis di Papua meliputi 1.129 orang tentara separatis, dilengkapi 131 senjata serta granat.
The Canberra times juga menyebut sejak dua pekan lalu, pihak TNI maupun Kopassus belum memberikan respons terhadap klarifikasi dari mereka. Tetapi, Kepala Dinas Penerangan Umum Markas Besar TNI Kolonel Cpl Minulyo Suprapto mengaku tidak pernah dihubungi oleh The Canberra times. Ia pun belum mengetahui tentang adanya pemberitaan media Australia yang membocorkan 19 dokumen rahasia milik Kopassus tahun 2006-2009.
The Saturday Age, media Australia yang lain, turut meramaikan isu kebocoran dokumen tentang Papua tersebut. Koran online itu mengungkap trik Kopassus memasang jaringan intel dan informan untuk memantau, tidak saja sayap militer gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka-Tentara Pembebasan Nasional (OPM-TPN), tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat sipil Papua yang selama ini tak mendukung kemerdekaan Papua.
Tak ketinggalan, Saturday Age juga mengungkap daftar informan yang selama ini memasok informasi kepada Kopassus, mulai dari wartawan, mahasiswa, birokrat, pemimpin gereja, guru, tukang ojek, kepala suku, kepala desa, petani, hingga para pekerja di hutan. Satu tokoh pemimpin OPM-TPN bahkan terungkap memiliki delapan informan Kopassus dalam jaringannya, termasuk salah kerabatnya, seorang gadis berusia 14 tahun. Versi online surat kabar tersebut (www.theage.com.au) bahkan memajang foto seorang anggota Kopassus berpangkat letnan yang disebut menulis sebagian besar laporan intelijen tentang situasi di Papua selama tahun 2006-2009.
Media-media yang berbasis Australia itu menyebutkan bahwa dokumen tersebut sebagai alat pantau orang asing di Papua. Sebab, dokumen memuat nama-nama orang asing yang disebutkan mendukung gerakan Papua Merdeka. Seperti nama beberapa senator Amerika, Anggota Parlemen Selandia Baru, Anggota Kongres Amerika Serikat, Jaringan NGO Asing, Anggota Parlemen Irlandia, Anggota Parlemen Eropa, Anggota Parlemen Inggris, hingga jurnalis asing di Papua.
Menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, maraknya kembali gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus disikapi dengan hati-hati. Diketahui bahwa untuk memuluskan tujuannya lepas dari NKRI, OPM juga menggalang dukungan dari luar negeri, salah satunya adalah Inggris.
International Parliamentary for West Papua yang diluncurkan di House of Commons, London, Inggris, 15 Oktober 2008, bertujuan untuk mendukung penentuan nasib sendiri warga asli Papua. IPWP tersebut juga didukung oleh dua anggota parlemen Inggris yaitu Hon Andrew Smith MP dan Lord Harries. Tokoh utama dibalik pergerakan pembebasan Papua Barat, yakni Benny Wanda. Benny mengklaim dirinya sebagai pemimpin kemerdekaan Papua Barat.
Priyo yang juga ketua desk otonomi khusus Papua dan Aceh ini meminta pemerintah memanggil Dubes Inggris untuk Indonesia. “Saya heran, gerakan OPM di Papua ini muncul ternyata atas prakarsa salah seorang oknum anggota parlemen Inggris. Untuk itu, saya meminta pemerintah agar memanggil Dubes Inggris,” ujar Priyo.
Menurut Priyo, ada anggota Parlemen Inggris yang memfasilitasi konferensi International Parliamentary for West Papua (IPWP) untuk OPM di Inggris. Padahal, Inggris termasuk negara yang bersahabat dengan Indonesia. “Jadi, jangan main api,” tegasnya.
Tidak hanya Inggris, Australia juga tak henti memancing di air keruh. Oknum-oknum di negara tersebut, tampaknya, tidak rela Papua terus berada di pangkuan Pertiwi. Padahal, pasca Pepera (Penentuan Pendapat rakyat) yang digelar PBB pada 1969, sudah tak terbantahkan lagi bahwa Papua menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, apapun gerakan memisahkan Papua dari Indonesia dikategorikan sebagai gerakan makar yang harus diberantas. Tak terkecuali campur tangan asing yang hendak memisahkan Papua dari Indonesia. (IRIB, 15/8/2011)
Sumber : http://www.facebook.com/notes/anti-opm-selamatkan-papua/dokumen-papua-bocor-australia-memancing-di-air-keruh/155615227853777
No comments:
Post a Comment