foto ilustrasi
Setiap tahun, mulai dari bulan April 1963-2013, terjadi perdebatan atas Tanah Papua. Perdebatan itu masih berlanjut hingga kemarin (01/05-2013). Secara khusus orang mendengar, membaca dan mengkritisi eksistensi Tanah Papua pada akhir-akhir April, demi menyambut 01 Mei pada setiap tahunnya.
Juga akan
terdengar ungkapan-ungkapan berlawanan antara Pemerintahan Indonesia dan Rakyat
Bangsa Papua. Hal ini tidak terbatas pada suatu tempat tertentu sehingga boleh
dikatakan di mana saja mereka berada.
Awalnya, sebelum
01 Mei 1963, pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda memperebutkan Tanah
Papua dengan menutupi mulut orang asli Papua. Ketika itu, Tanah Papua membisu
tak berdaya akibat pemaksaan. Pendengaran orang Papua seakan ditutupi kentalnya
kotoran telinga. Hanya beberapa orang dipaksakan sebagai pembawa aspirasi bagi seluruh
orang Papua saat itu.
Hal ini
dibenarkan seorang mantan guru di Wamena sebagai pelaku sejarah PEPERA yang dipaksakan. Merurut dia, orang yang hadir, hanya
guru-guru dan tukang-tukang sehingga kemenangan PEPERA jelas-jelas mereka
menangkan. Saat itu ketersediaan tukang dan guru orang asli Papua dapat dihitung lalu yang lain itu siapa-siapa?
Mulut mereka
dijahit jarum senjata. Tangan mereka dilunakan dengan rokok sebungkus dll. Karenanya,
kita ketahui bahwa keterwakilan hanyalah 1025 orang mewakili 800.000 jiwa lebih,
total penduduk orang asli Papua. Karena
itu orang asli Papua menyebut Penentuan Pendapat Rakyat pada tahun 1969 itu cacat
hukum dan moral. Saya meminjam kalimat, Selpius Bobii,
Ketua Front PEPERA PB.
Hal yang sama
terjadi pada April 2013, untuk menyambut 01 Mei 2013. Bahwa terdengar
suara-suara orang asli Papua untuk mengespresikan pendapatnya di hadapan publik. Baik di media cetak,
online, dan diskusi-diskusi publik dan tertutup hal ini diperbandingkan pula
dengan negara demokrasi. Ekspresi secara bebas yang dibincangkan oleh kalangan
masyarakat adalah long march dan
demonstrasi. Dan itu sebenarnya sangat didukung oleh kekuatan hukum bahwa
negara Indonesia adalah negara demokrasi.
Pendapat yang
ingin orang Papua ekspresikan kali ini tidak lain yakni peng-aneksasi-an Bangsa,
Tanah air dan Negara Papua Barat, buatan Belanda ke dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sejarah bersaksi, tanggal 01 Mei 1963 adalah hari aneksasi
atau awal penderitaan rakyat bangsa Papua
di Tanah leluhurnya. Itulah hal yang perlu diluruskan berawal dari
aspirasi. Penerimaan aspirasi bukti penerimaan negara terhadap rakyatnya,
apalagi negara berlebel demokrasi. Negara demokrasi mestinya siap menerima pahit-manisnya,
enak-tidaknya
Ketika ditanya
buktinya mana? Mari, silahkan membaca, buku: "Tindakan Pilihan Bebas",
P. J. Drooglever. Seperti juga telah ditegaskan dalam "PERNYATAAN Ketua Umum Front PEPERA Papua Barat
Menyelang 50 Tahun Aneksasi Tanah Air, Bangsa dan Negara Papua ke dalam NKRI,
01 Mei 1963 - 01 Mei 2013, (Muye Voice, senin 29 April 2013)".
Terkait negara demokrasi itu seperti
apa? Kita mesti mengetahui arti kata Demokrasi yang sebenarnya. Honoratus Pigai,
seorang mahasiswa Papua menjelaskan, Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani
Kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu, demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein
yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan
rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
Maka demokrasi sebagai bentuk atau
mekanisme sistem pemerintahan suatu negara, sebagai upaya mewujudkan kedaulatan
rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut,(Muye Voice).
Dengan mengetahui Pengertian Demokrasi
dan Fakta kehidupan orang Papua, di Tanah Papua, sungguh disayangkan. Mulut orang
Papua ditutupi secara paksa, tak bemartabat, secara biadap dan segala pembawaan
negara demokrasi telah hilang dalam luasnya bumi Papua.
Bagi rakyat papua tidak berlaku lagi
kata demokrasi, hukum negara demokrasi kian pudar, keyakinn bahwa negara
Indonesia adalah negara demokrasi telah luntur warna aslinya. Orang papua
sebagai bagian dari negaranya, terbukti tidak menjamin. Walau ada jaminan hanya
karena mulut-mulut yang orang Papua ditutupi secara paksa. Senjata berlaku
untuk penjahit mulut orang Papua. Lengkapnya peralatan negara hanya untuk menggunting
aspirasi di negara demokrasi, kata Papua.
Keterpaksaan lunturnya makna demokrasi akibat menutup mulut,
itu kita dapat temukan dalam beberapa judul tulisan berikut. Baik dari pihak
Indonesia maupun dari pihak orang Papua:
"Hak Menentukan
Nasib Sendiri Solusi Demokratis Bagi Rakyat Papua", "AMP Bandung Gelar Aksi Gugat Integrasi, 1 Mei", Peringati Hari Aneksasi, AMP Koordinir
Mahasiswa Papua Yogyakarta Turun Jalan", "Bintang Kejora Berkibar di Timika, 5 Orang
Ditangkap", "1 Mei: Polisi Kerja Bakti di Makam Theys,
KNPB Ibadah di Kampung Harapan", "KNPB Nabire Serukan Rakyat Tak Terhasut
Agenda Penjajah dan Bangun Solidaritas", "Forkompas dan SMPP Mengutuk Aneksasi Papua ke
NKRI", "1 Desember 1962, Awal Penindasan Kebebasan
Ekspresi di Papua", "http://www.suarapembaruan.com/home/otk-menembak-mati-anggota-polsek-di-papua/34635", dan lainnya.
Ini hanya
segelintir tulisan, masih banyak tulisan sebelumnya yang bernada ekpresif,
pemaksaan dan akibat dari negara menutupi mulut orang Papua. Menutup mulut secara paksa oleh negara
demokrasi di Tanah Papua, sangat disayangkan karena korban berjatuhan. Dengan
demikian akan sia-sia mengatakan Papua bagian dari NKRI, selagi tidak mau lagi
menjunjung tinggi atau melukai demokrasi.
Dari
pada dikatakan melunturkan nilai demokrasi oleh yang punya demokrasi, marilah
kita temukan akibat pemaksaan orang agar jangan bersuara di dalam negara
demokrasi. Apa lagi Aparat TNI/POLRI menutup mulut secara paksa hingga
menewaskan orang. Contohnya; dua orang di Sorong tewas ditembak, pemenjarahan 5
anggota KNPB di Timika, pemenjarahan dua anggota KNPB di Jayapura, OTK semakin
subur dan lain sebagainya.
Kini
saatnya mengoreksi dan mengakui kesalahan pergunakan kata "demokrasi" di Tanah
Papua Barat, karena terbukti atas fakta-fakta dan akibatnya. Dengan itu, mengatur negara demokrasi tanpa menutup mulut
rakyat dan tanpa sembunyi muka di balik kata demoktasi. Akibat semuanya,
ketidakpercayaan terhadap negara pun akan terbangun megah di bumi Papua.
Niko Wakei adalah Mahasiswa Papua, kuliah di Jayapura
No comments:
Post a Comment